Jumat, 23 September 2011

Tausyiah Halal bi Halal

Dr. Abdul Fatah Wibisno, MA,

gaya Ki Ageng Wibisono (PP Muhammadiyah) dalam memberikan tausyiah pada acara Halal bi Halal warga Muhammadiyah Kotim beberapa waktu lalu.

Halal Bi Halal PDM KOTIM

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kotawaringin Timur sedang memberikan kata sambutan dalam acara Halal bi Halal yang dilaksanakan pada hari Selasa 20 September 2011 pukul 19.30 WIB di gedung serbaguna sampit.

Buya Akmal Thamroh

Minggu, 11 September 2011

KISAH...

CATATAN PERJALANAN KONGRES 25 PALU.

Jogjakarta, Sabtu 6 Agustus 2005
Mendekati pelaksanaan Kongres ke 25 di Palu yang kian singkat ini, memaksa kami harus bekerja keras tak hanya pada persiapan materi yang akan dibawa sebagai kontribusi bagi tiap perubahan yang sangat mungkin terjadi, tapi juga pada teknis pendanaan keberangkatan Tim kesana. Sebab bagaimanapun juga kebesaran ide-ide yang digagas selama tidak memungkinkan untuk diajukan ke Kongres lantaran persoalan teknis tersebut tentu tak memiliki nilai perubahan apapun kecuali hanya hilang kandas dalam buain alam pikir yang tanpa batas. Untuk itulah mendekati hari pemberangkatan ini Tim lebih memusatkan diri pada pencarian dana guna keberangkatan Tim ke Palu. Sementara itu persiapan materi oleh Tim juga belum secara maksimal tergarap. Hal ini bisa dilihat dari minimnya pertemuan yang secara intens oleh Tim dalam melakukan pembahasan berkait dengan agenda Kongres yang banyak dititik beratkan pada perubahan pedoman-pedoman.
Keadaan ini tentu saja berimbas pada ketidaksiapan konsep, gagasan serta kesamaan persepsi dalam melihat setiap agenda yang akan dibahas dalam Kongres beberapa hari mendatang, termasuk agenda besar apa yang akan ditawarkan oleh Cabang Yogyakarta. Disisi lain mahalnya biaya keberangkatan ke Palu menyebabkan beberapa anggota Tim tidak lagi antusias mengikuti pembahasan-pembahasan materi Kongres terlebih bagi mereka yang memang dari awal tidak mengikuti perjalanan proses dialektika pembahasan baik dalam internal Tim maupun pertemuan Cabang-Cabang Inbagteng. Namun demikian, sekalipun dengan kondisi kesiapan konsep dan pendanaan yang sangat terbatas, Tim tetap bertekat mempersiapkan diri semaksimak mungkin untuk berangkat menuju Kongres.

Jogjakarta, ahad 7 Agustus 2005
Bahkan, hari ini pun belum juga ada kepastian nama-nama dari Tim yang siap berangkat ke Kongres, karena sampai pertemuan terakhir belum ada yang memberi kepastian Tim yang akan berangkat kecuali, sdr. Yusron sebagai ketua Tim dan Khilmi Zuhroni. Itupun keduanya lantaran taggung jawab struktural masing-masing. Pertama sebagai ketua Tim Kongres Cabang Yogyakarta yang tidak mungkin untuk meninggalkan tanggung jawabnya membawa sekian konsep yang selama ini dibahas untuk disampaikan ke Palu, sedang yang kedua lebih karena posisi ketua Cabang, memiliki tanggung jawab mengawal Tim sampai ke forum Kongres.
Untunglah menjelang sore ada beberapa nama yang mendaftarkan diri sebagai rombongan “kafilah” yang berangkat dari Yogyakarta diantaranya adalah: Sdr. Arif Ahsan yang mewakili korkom UIN Sunan Kalijaga; Sdr. Abdul Wahab Nasaru mewakili korkom UMY; Maslahul Falah, senior HMI yang ingin turut meramaikan Kongres; Yesi Puji Hastuti, pengurus Badko Indagteng yang juga kader HMI Cabang Surakarta; serta Dewi Puspita Yanti, anggota Tim Kongres yang baru sore ini menyatakan kesiapannya. Jadi dari ketuju orang yang siap berangkat hanya dua orang-lah yang benar-benar dari Tim Kongres. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kapasitas Tim yang akan saling memperkuat argumentasi dari setiap ide atau gagasan yang disampaikan, sebab bagaimanapun ke lima orang yang lain sifatnya lebih sebagai pelengkap yang sudah tentu tidak mengikuti alur pembahasan Tim sedari awal. Maka dapat dipastikan bahwa nuansa saling menguatkan gagasan sebagai strategi Opinion Building pada peserta Kongres tentu tidak secara maksimal dapat terlaksana. Namun dari Tim—meskipun hanya dua orang yang siap berangkat—tetap mengupayakan pembangunan opini melalui pembicaraan informal sesama rombongan Yogyakarta agar pada saatnya nanti tidak terjadi mis-konsepsi dan kesimpang-siuran gagasan yang akan dibangun dalam memberi konstribusi ide pada setiap perubahan yang mungkin diputuskan pada Kongres mendatang.
Usai melakukan konsolidasi—terkait persiapan berbagai perlengkapan data dan kepastian keberangkatan—seperlunya di Cabang, rombongan pun meninggalkan Cabang untuk berangkat ke Palu melalui Surabaya sekitar pukul 19.30 menuju stasiun Lempuyangan dengan diantar oleh beberapa pengurus Cabang dan teman-teman yang lain. Namun karena beberapa kendala, semisal waktu keberangkatan kereta yang tidak jelas, harga tiket serta tempat duduk yang tak pasti rombongan kemudian memilih berangkat dari terminal Giwangan Yogyakarta sekitar pukul sebelas malam.


Surabaya, Senin 8 Agustus 2005
Pukul 4.25 pagi rombongan tiba di Surabaya yang langsung bergabung dengan delegasi dari Cabang-Cabang lain di Inbagteng serta seorang delegasi dari Cabang Jakarta yang kebetulan ikut berangkat dari Surabaya. Jadi keseluruhan delegasi yang berangkat dari Surabaya adalah 20 orang yang terdiri antara lain ; 7 orang dari Cabang Yogyakarta, 4 orang dari Cabang Semarang, 3 orang Cabang Wonosobo, 2 Orang dari Cabang Purworejo, serta masing-masing satu orang dari Cabang Surabaya, Malang, Pontianak dan Cabang Jakarta.
Setelah seharian singgah sementara di Surabaya, pada pukul 18.30, rombongan delegasi Kongres yang terdiri dari berbagai Cabang di atas, melanjutkan perjalanan ke Palu dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan menggunakan kapal laut TIDAR, salah satu kapal PELNI yang melayani pemberangkatan ke daerah-daerah Indonesia Timur seperti Sulawesi dan Kalimantan Timur. Di atas TIDAR-lah kami mengarungi laut jawa menuju selat Makassar sampai tiba di Palu selama dua malam-dua siang, yakni dari tanggal 8 Agustus hari Senin malam sampai tanggal 10 Agustus hari Rabu sore.

Selat Makassar, Selasa 9 Agustus 2005
Sebagaimana pertemuan-pertemuan Cabang-Cabang sebelumnya, selama tinggal di kapal—sembari mengkondisikan diri agar tak larut dalam hempasan gelombang laut dalam sepanjang selat makassar—delegasi dari Cabang Yogyakarta juga melakukan konsolidasi antar Cabang sebagai upaya pembangunan frame bersama mengenai isu dan wacana serta agenda-agenda lain yang akan dibawa ke Kongres sekalipun dari perjalanan pembahasan, wacana yang bergulir ternyata lebih di dominasi oleh eksplorasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi antar Cabang. Hal ini tentu tak bisa dihindari, pasalnya dari pertemuan lintas Cabang yang selama ini dilaksanakan, banyak dari delegasi Cabang yang tidak sempat hadir, semisal Cabang pontianak, yang sudah pasti banyak mengalami ketertinggalan wacana serta pokok kajian yang menjadi bahasan, hingga forum yang seharusnya mengkajian kinerja PB sebagaimana yang gagal pada pertemuan terakhir di Solo, juga tak bisa dikaji pada pertemuan kali ini. Demikianlah pada setiap pertemuan pembahasan lebih banyak terfokus pada kondisi dan permasalahan yang dihadapi masing-masing Cabang. Namun demikian sedikit banyak pembahasan itu juga menyangkut signifikansi isu-isu perubahan yang diagendakan oleh Tim Kongres, seperti perubahan pedoman-pedoman, khittah perjuangan dan hal lain yang terkait.
Akhirnya setelah berjam-jam di laut, sampai pula kapal bersandar di pelabuhan Pantoloan Palu Sulawesi Tengah pada Rabu sore, 10 Agustus 2005 yang disambut dengan bentangan spanduk bertuliskan “ Selamat datang peserta Kongres 25 di Palu” oleh panitia dan teman-teman HMI Cabang Palu.

Palu, Sabtu 13 Agustus 2005
Sebagai delegasi yang datang paling awal, dalam dua hari ini, teman-teman yang datang dari Jawa, belum banyak melakukan aktifitas, kecuali beberapa kali tetap melakukan komunikasi yang amat terbatas lantaran kondisi budaya HMI di Sulawesi terutama panitia yang sebagian besar pengurus HMI Cabang Palu, memberikan batasan yang sangat ketat dan kaku bagi pertemuan-pertemuan yang melibatkan Ikhwan dan Akhwat, bahkan dalam beberapa pertemuan penting kerap kali ditegur panitia dengan alasan ruang pertemuan yang terlalu bebas. Sementara itu di satu sisi kebiasaan-kebiasaan tradisi Cabang-Cabang di Jawa yang tak terlalu menganggap penting persoalan-persoalan hijab serta komunikasi yang sesempit itu menjadikan beberapa kali pembahasan-pembahasan yang dirasa sangat urgen mengalami kegagalan. Akibatnya banyak dari utusan Cabang-Cabang—terutama delegasi dari Cabang-Cabang Inbagteng yang datang paling awal—pada awalnya lebih suka mengurung diri di kamar masing-masing untuk menghindari peringatan dan teguran dari panitia pelaksana disamping juga lebih sebagai upaya menghormati tradisi yang berkembang di Indonesia Timur. Baru setelah dilakukan diskusi dan sharring antara delegasi dengan panitia mengenai beberapa budaya yang mengalami perbedaah cukup jauh itu sedikit banyak bisa dimaklumi sekalipun disisi lain tetap menyisahkan keberatan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadi isu yang cukup sentral dikalangan peserta Kongres pasalnya perbedaan kultur yang cukup jauh ini sama-sama muncul dari tafsir dan pemahaman akan konstitusi yang sama. Apakah kultur yang berbeda ini bisa dianggap sebagai given yang lebih didominasi oleh budaya dan lingkungan masing-masing Cabang ataukah social construction yang dihasilkan dari penyesuaian penafsiran atas teks konstitusi dengan realitas yang berkembang, lantas sejauh mana gagasan-gagasan besar HMI, pemikiran dan trategi perkaderannya berpengaruh terhadap prilaku dan kebiasaan kader. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang banyak mewarnai perjalanan Kongres 25 sampai pada penurunan-penurunan konsepsi pemahanan kearah rekomendasi, PKN maupun keputusan-keputusan yang lain.
Sebagaimana tertera pada agenda acara, pembukaan Kongres baru dimulai hari Sabtu. Pembukaan Kongres di selenggarakan di lokasi yayasan Al-Khairat dengan dihadiri oleh Gus Sholah, perwakilan Gubernur Sulawesi Tengah, pengasuh Al-Khairat dan beberapa tokoh agama di Palu serta peserta dan undangan yang tidak lebih dari dua ratus orang. Sayangnya acara yang di mulai dari pukul 9 pagi sampai pukul 15 siang ini dibuka dan ditutup oleh PJs Ketua umum Sdr. Justeria Makka—bukan oleh ketua umum sendiri. Hal ini tentu banyak menimbulkan pertanyaan bagi pengurus Cabang sebab dalam agenda terbesar HMI pun saudara ketua umum tidak bisa menyempatkan diri untuk hadir membuka Kongres.
Acara kemudian dilanjutkan pada pukul delapan malam dengan agenda perkenalan “ta’aruf” pengurus Cabang-Cabang yang dilanjutkan dengan pleno I sampai pukul 4 pagi yang membahas Tatib (tata tertib) persidangan, agenda acara selama Kongres dan pemilihan presidium sidang. Perlu di ketahui bahwa agenda perubahan yang di gagas oleh TPK (Tim pekerja Kongres) banyak dituangkan dalam tata tertib dan agenda acara yang sedang dibahas termasuk diantaranya adalah wewenang Kongres yang berisi melakukan pembahasan dan penetapan Khittah Perjuangan, dan pedoman-pedoman. Konsideran ini tentu banyak menimbulkan perdebatan sebab konsepsi Khittah sebagaimana hasil rumusan TPK belum mampu menyintuh pada ranah-ranah substansial gagasan perubahan seperti yang dikehendaki. Perdebatan penetapan konsideran ini memakan waktu yang cukup panjang sebab perbedaan konsepsi pandang antara pembahasan yang harus dilakukan di lokakarya dengan pembahasan serta penetapan sekaligus di forum Kongres. Alasan pertama mengapa point ini harus dihapus dengan melanjutkan pembahasan Khittah Perjuangan di forum lokakarya adalah lebih untuk menjaga idealisme serta bangunan paradigma HMI yang tertuang dalam Khittah secara maksimal dapat dirumuskan, disamping itu forum struktur kekuasaan, terutama Kongres lebih bernuansa politis sehingga untuk membahas bangunan paradigma secara utuh dirasa kurang tepat. Sementara alasan peserta yang menghendaki pembahasan dan penetapan Khittah di Kongres disebabkan oleh terlalu seringnya kegagalan penyelenggaraan lokakarya yang dilakukan oleh PB seperti halnya lokakarya terakhir di Bogor, disamping itu hampir di setiap Kongres selalu saja menghasilkan rekomendasi menyelenggarakan lokakarya Khittah Perjuangan namun dalam pelaksanaannya tidak maksimal atau malah gagal.
Perdebatan ini sedemikian berlangsung dan berkembang dengan penguatan argumentasi dari masing-masing peserta, baik yang sepakat untuk di hapus maupun yang menghendaki di tetapkan. Sampai akhirnya sidang yang dipimpin oleh Sdr. Yogi Maharesi (ketua umum Badko Inbagteng) ini memutuskan (lihat SK Tata tertib Jo SK Agenda Acara yang dikuatkan juga dalam hasil-hasil rekomendasi Kongres 25) bahwa pembahasan Khittah Perjuangan sekaligus pedoman perkaderan diselenggarakan di forum lokakarya setelah terjadi lobbying dan berakhir dengan votting. Adapun Cabang-Cabang yang mendukung pembahasan Khittah dilakukan di lokakarya antara lain; Cabang Semarang, Yogyakarta, Purwokerto, Makassar, Purworejo, Wonosobo, Palu dan Surabaya.
Usai penetapan tata tertib dan agenda Kongres, sidang dilanjutkan dengan pemilihan presidium sidang yang menghasilkan nama-nama sebagai berikut :
1. Elly Fithryanasari : Cabang Semarang
2. Adang Ridwan : Cabang Bekasi
3. Andi Burhanudin : Cabang JakSel
4. Alfill Roahim : Cabang Makassar
5. Masri . M : Cabang Palopo

Asrama haji Palu, Ahad 14 Agustus 2005
Asrama haji berada tepat sebelah barat masjid Agung kota Palu, yang juga bagian barat pusat kota propinsi Sulawesi Tengah. Daerah yang dikelilingi oleh perbukitan ini menjadikan suasana kian elok dan sejuk, sekalipun mendekati jam sembilan siang suhu udara mencapai derajat panas yang tergolong tinggi, itulah sebabnya kenapa dari kebanyakan warna kulit penduduk asli nampak lebih gelap. Itu pula mengapa banyak dari peserta Kongres terutama yang dari Jawa mengunakan pakaian sekadarnya, istirahat dengan menyalakan kipas angin sepanjang hari, tiduran di lantai untuk mendapat kesejukan siang hari yang panasnya luar biasa. Juga kondisi air yang kuning keruh disamping stok air yang pas-pasan menyebabkan beberapa peserta mengalami gatal-gatal, hingga memaksa diri untuk jarang mandi, belum lagi cerita nyamuk yang menjadikan tangan dan permukaan wajah serta kulit yang lain dihiasi bintik-bintik merah setiap bangun pagi. Sebagai pendatang mau tidak mau kami harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar terlebih dengan suhu udara yang cukup jauh berbeda dari suhu udara di Jawa, air mandi, nyamuk, juga dengan pembawaan bahasa yang cepat serta tak mengindahkan tata linguistik bahasa Indonesia secara tepat—minimal dalam ukuran bahasa kami. Di situasi itulah kami tinggal untuk menjalankan agenda Kongres beberapa hari kedepan.
Usai makan pagi, pukul 09.15 Kongres kembali dilanjutkan dengan agenda laporan pertanggungan jawab pengurus PB dengan—tentu saja—diawali perdebatan mekanisme pembacaan dan sistem evaluasi yang panjang dan tidak terlalu signifikan. Akhirnya disepakati pembacaan LPJ dilakukan per-Bidang secara keseluruhan untuk kemudian baru ke tahap evaluasi. Tidak sebagaimana mekanisme yang kami pahami dan jalankan selama ini di forum-forum konferensi Cabang atau di Kongres dua tahun lalu di Semarang, dalam Kongres kali ini system evaluasi dilakukan dengan perwakilan dari masing-masing Cabang serta hanya dalam satu tahapan. Jadi usai PB menyampaikan LPJ, dilanjutkan dengan evaluasi secara menyeluruh dari semua Cabang yang hadir Cabang sesuai urutan abjad, lantas sesudah itu barulah di tanggapi oleh PB atas pertanyaan-pertanyaan Cabang yang di sampaikan. Mekanisme seperti ini tentu sulit untuk membembangun “Opinion Building” atas persoalan-persoalan yang sebetulnya terjadi di PB disamping sudah pasti akan memakan waktu yang sangat banyak. Sebab jika satu Cabang saja menyampaikan tiga pertanyaan dengan berbagai lontaran argumentasi dari permasalahan-permasalahan yang terkait minimal 10 menit, sementara ada 26 Cabang yang hadir maka waktu yang digunakan untuk evaluasi saja adalah :dua ratus enam puluh menit atau sekitar lima jam, belum lagi pertanyaan-pertanyaan balik yang disampaikan Cabang untuk meminta perjelasan lebih jauh. Dan tentu saja akan banyak terjadi reduksi yang dilakukan oleh PB atas jawaban untuk setiap pertanyaan yang diajukan. Bahkan dalam catatan kami dari ratusan pertanyaan yang disampaikan hanya sebagian kecil saja yang terselesaikan dengan tuntas.
Dari perjalanan evaluasi ternyata yang banyak memunculkan pertanyaan adalah persoalan pendirian Cabang-Cabang baru yang ternyata tidak banyak di perhatikan oleh pengurus PB, serta seolah tidak ada tanggung jawab moral untuk mengawal dan melakukan pendampingan sebagai Follow-Up bagi berlangsungnya penataan organisasi Cabang-Cabang baru tersebut. Sehingga banyak terjadi disinterpretasi terhadap gagasan-gagasan besar HMI serta isu-isu yang dibawa selama kepengurusan PB. Dari perdebatan ini rupanya ada kesan saling lempar tanggung jawab antara PB dengan Badko dimana Cabang tersebut berada. Hal inilah yang kemudian menjadikan perdebatan di forum kian panas setelah terjadi perselisihan pendapat antara kerja Bidang Keaparatan PB dan Badko yang dirasa tumpang tindih terutama di Cabang-Cabang Inbagtim sampai keluarnya “walk-out” Cabang Manado dari forum.
Selain itu pertanyaan-pertanyaan terkait dengan penjelasan PB mengenai konsepsi basis keilmuan, perjabaran gagasan revolusi sistemik yang belum tuntas, serta kondisi ketua umum yang terlalu sering meninggalkan tanggung jawab juga banyak mewarnai evaluasi yang dilakukan Cabang-Cabang. Sampai pada tahap ini memang tidak muncul satu dialektika pembahasan yang komprehensif mengenai satu masalah tertentu, sebab selain mekanisme evaluasi yang tidak mengungkinkan untuk itu, beberapa Cabang juga kurang memahami betapa pentingnya dialektika secara rasional bagaimana PB menerjemahkan setiap ide dan gagasan besar yang menjadi cita dan tujuan gerak organisasi untuk menemukan titik persoalan yang bisa dijadikan sebagai strategi pemunculan pola gerakan yang baru, sehingga banyak dari Cabang-Cabang yang tidak menghendaki pembahasan evaluasi yang dianggap banyak memakan waktu dan bertele-tele. Jadi bisa dikatakan nuansa evaluasi yang lebih banyak berkembang adalah persoalan teknis PB yang jarang melakukan kunjungan ke Cabang-Cabang, pola pendampingan, dan wilayah pembagian kerja yang tidak jelas antara PB dan Badko serta beberapa hal teknis yang lain.
Dengan mekanisme evaluasi yang menurut kami tidak efektif itu pandangan akhir Cabang-Cabang, baru dapat dilaksanakan pada Senin pagi usai sarapan setelah sekitar pukul 4 pagi sebelumnya disepakati bahwa hasil pandangan akhir Cabang-Cabang harus meliputi tiga pilihan yakni LPJ diterima, ditolak, atau abstain. Adapun hasil pandangan akhir Cabang-cabang adalah sebagaimana berikut : menerina : 17 Cabang, menolak : 5 Cabang, abstain : 2. Cabang-Cabang yang menolak LPJ antara lain : Cabang Yogyakarta, Cabang Semarang, Cabang Luwuk banggai, Cabang Purwokerto dan Cabang Wonosobo. Sementara yang abstain adalah Cabang Makassar dan Cabang Sorong.
Belum lagi pembacaan SK berlangsung berbagai interupsi muncul untuk tidak memberikan status apakah LPJ di terima atau ditolak. Sebab sifat pandangan akhir hanyalah sebatas penyampaian pandangan Cabang-Cabang berdasarkan pola menejerial dan kinerja PB. Jadi tidak perlu untuk dilakukan voting terhadap putusan tersebut. Status LPJ jika dinyatakan diterima dengan landasan jumlah suara terbanyak adalah mengingkari aturan tata tertib dan itu berarti voting telah dilaksanakan sebelum terlebih dahulu ada mekanisme musyawarah maupun lobby yang dilakukan. Situasi ini menjadi makin ramai dan membesar dengan munculnya berbagai interupsi Cabang lain yang menghendaki agar LPJ secepatnya diputuskan supaya tidak memakan waktu yang lebih banyak, juga mereka mengatakan bahwa tidak mungkin untuk mengantung-atungkan LPJ PB tanpa adanya status akhir yang jelas. Setelah perdebatan kian membias dan tidak mengarah pada penyelesaian-penyelesaian bersama dari masing-masing perbedaan pendapat akhirnya dibacalah SK oleh presidium sidang dengan tanpa adanya konsideran yang memastikan LPJ ditolak atau diterima (SK Nomor: 04/A/KPTS/KONGRES 25/07/1426) yang selanjutnya PB dinyatakan demisioner.

Senin,15 agustus 2005
Ditengah kericuhan penafsiran atas putusan laporan pertangguan jawab antara diterima atau ditolak itulah kepengurusan Pengurus Besar HMI Periode 2003-2005 berakhir dengan dinyatakan demisioner. Sementara itu banyak peserta Kongres terlebih bagi pengurus demisioner yang tidak puas dan merasa kecewa atas ketidak jelasan putusan tersebut. Pleno II akhirnya ditutup dengan luapan emosi perpisahan dan saling permohonan maaf antara peserta Kongres dengan pengurus demisioner. Teduh, haru dan memilukan...
Kongres kemudian dilanjutkan pleno III dengan agenda pembahas Anggaran Dasar. Kali ini perdebatan pun kembali tidak bisa dihindari, pasalnya sebagian besar peserta menghendaki untuk menggunakan Anggaran dasar (AD) yang masih berlaku (hasil Kongres 24 Semarang) sebagai draf utama pembahasan, sedang draf hasil TPK hanya sebagai draf usulan yang sifatnya sebagai pembanding. Sementara disisi lain sebagian peserta lebih menghendaki pembahasan secara langsung draf tawaran yang dihasilkan oleh TPK. Disinilah kemudian muncul kesepakatan untuk mendatangkan anggota TPK sebagai Tim perumus AD untuk memberikan pertimbangkan sekaligus menjelaskan draf usulan TPK. Nampaknya pihak TPK sendiri tidak satu suara, ada yang tetap mempertahankan AD hasil rumusan mereka sementara yang lain menyerahkan sepenuhnya pada peserta Kongres. Hal inilah yang menjadikan peserta mempertanyakan keseriusan Tim TPK sebab tidak adanya satu sikap mempertahankan AD hasil rumusan mereka. Setelah terjadi perdebatan yang sangat alot dan panjang antara dua pendapat tersebut akhirnya disepakati menggunakan draf tawaran TPK untuk dijadikan acuan pembahasan, yang itu berarti AD yang masih berlaku (hasil keputusan Kongres 24 Semarang) sifatnya sebagai pembanding.
Sebagai pedoman dasar organisasi tentu keseluruhan konsideran memiliki bobot yang sama untuk dilakukan kajian secara mendalam terkait gambaran penjelasannya dalam pedoman yang lain. Sebab bagaimanapun sederhananya rumusan AD akan menjadi landasan utama bagi gerak organisasi yang nantinya dijabarkan oleh pedoman dalam kerangka dan sistematika yang lebih praksis organisatoris, termasuk didalamnya adalah muqadimah Anggaran Dasar yang menjiwai keseluruhan pasal yang tertuang dalam AD, namun sayangnya hal itu tidak disadari oleh sebagian peserta Kongres—apalagi utusan Cabang Palu yang selalu saja menjadikan alasan kemoloran waktu—hingga tidak memungkinkan adanya ruang yang luas bagi setiap pembahasan point-point penting yang tertuang dalam muqadimah AD, sampai ada semacam kesan terburu-buru dalam setiap keputusan-keputusan yang dihasilkan. Nuansa-nuansa dialektika yang luas dan universal, penelusuran argumentasi secara mendalam, serta penghargaan atas setiap proses perdebatan sebagaimana yang tetap menjadi karakter pembahasan (rapat-rapat) di HMI, hampir-hampir tak banyak muncul dalam pelaksanaan Kongres saat ini.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari perkembangan pembahasan AD terutama terkait pada pasal-pasal yang menyangkut nama organisasi. Sejak beberapa waktu yang lalu wacana perubahan nama yang sempat digagas oleh Cabang Jakarta selatan ternyata tidak sebatas main-main sebagai yang selama ini dipahami. Dari awal mereka telah melakukan konsolidasi terutama di HMI Inbagbar untuk mengusung perubahan nama ini. Itu jelas terlihat dari lobby dan strategi mereka yang dengan gencar dilakukan pada Cabang-Cabang lain termasuk Yogyakarta. Menurut mereka bahwa nama HMI sudah terlalu rapuh untuk tetap dipertahankan. HMI hanyalah warisan sejarah yang hanya menjadikan kader terbebani dengan kebesaran sejarahnya. Sejarah harus diraih, harus diciptakan dan itu berarti dimulai dari perubahan nama. Alasan kedua bahwa dalam politik, HMI selama ini masih belum dapat pengakuan sebagai organisasi yang sah oleh pemerintah sebab akses kearah sana hampir semuanya didominasi oleh HMI-DIPO, maka dengan pergantian nama ini dimaksudkan agar ada banyak pola gerakan yang bisa dilakukan tanpa harus terjebak pada sejarah perebutan dan klaim kebenaran antara MPO dan DIPO. Alasan ketiga—dan ini yang paling tidak rasional—bahwa adanya isu gugatan kepengadilan oleh DIPO atas MPO seperti yang mereka—HMI DIPO—agendakan pada Kongres kedepan di Makassar, menjadikan perubahan nama HMI menjadi penting dan mendesak.
Dari berbagai alasan yang disampaikan tidak ada satupun yang bisa diterima oleh peserta Kongres secara rasional dan konstitutif, sebab dalam kenyataannya banyak kondisi Cabang HMI yang justeru jauh lebih berkembang dan memiliki bargaining position baik secara politik maupun sosial yang bagus ketimbang DIPO. Dari keseriusan isu perubahan nama yang mereka usung malah menimbulkan kesan secara implisit bahwa mereka akan membawa HMI ke arah rekonsiliasi. Seolah memang ada hidden agenda rekonsiliasi yang mereka bawa. Kenyataan ini lebih jelas bagaimana mereka juga mengupayakan perubahan mana itu pada sidang komisi rekomendasi maupun PKN setelah sebelumnya gagal di pleno III ini. Namun demikian ide itu tetap ditolak oleh sebagian besar peserta Kongres, bahkan ada beberapa Cabang yang mengancam jika perubahan nama itu sampai ke tingkat putusan voting maka Cabang-Cabang yang mengusulkan perubahan nama akan dipaksa keluar dari forum, sebab kegiatan kali ini adalah Kongres HMI, bukan SMI (serikat mahasiswa islam) nama baru sebagaimana yang mereka usulkan. Pleno Anggaran Dasar ini pun berakhir pada pukul 22.41 dengan tetap pada kesepakatan melanjutkan agenda sidang komisi.
Seperti pada agenda acara Kongres yang di tetapkan, sidang komisi terdiri dalam enam komisi yang terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama tiga komisi yakni; komisi Anggaran Rumah Tangga (ART), komisi Rekomendasi dan komisi Program Kerja Nasional (PKN), sedang tahap II juga tiga komisi yang terdiri atas komisi A yang membahas pedoman gerakan, komisi B yang membahas pedoman Pedoman Keanggotaan, Pedoman Keuangan, Pedoman Struktur Organisasi dan komisi C yang membahas Pedoman Kesekretariatan, Pedoman Atribut Organisasi dan Pedoman Kohati.

Selasa, 16 Agustus 2005
Sebagaimana putusan yang disepakati diatas, semua pembahasan komisi dilakukan dalam dua tahapan. Yang pertama adalah pembahasan komisi ART, komisi Rekomendasi dan komisi PKN. Sementara secara insidental sidang komisi tahap kedua akan dilanjutkan menyusul setelah tahap pertama selesai. Maka malam itu juga pembagian anggota komisi untuk tahap pertama dilanjutkan dengan pemdatasan waktu sidang komisi sampai pukul 9 pagi. Dengan demikian masing-masing komisi melaksanakan sidang komisi pada tempatnya masing-masing.
Banyak sebetulnya yang harus dievaluasi dalam pelaksanaan sidang komisi sebab bagaimanapun sidang yang tetap dilaksanakan sampai jelang subuh jelas tidak efektif terutama bagi gagasan-gagasan baru yang sangat dibutuhkan bagi perolehan hasil yang maksimal dari sidang komisi. Kondisi yang terlalu lelah dan tidak fit hanya akan menjadikan sidang dengan sangat tergesa harus secepatnya diselesaikan terlepas dari sejauhmana out-put yang akan dihasilkan. Sementara kebutuhan akan ide-ide serta berbagai gagasan yang konstruktif bagi eksistensi HMI kedepan adalah sangat tergantung dari sejauhmana pendalaman dan eksplorasi permasalahan-permasalahan menyangkut organisasi tidak begitu nampak dalam sidang-sidang komisi, ini terlihat dari banyaknya anggota komisi yang pasrah dan manut dengan apapun keputusan yang ditetapkan dalam sidang komisi tanpa banyak memberikan masukan atau usulan pada setiap point konsideran lantaran tidak kuat menjaga kondisi fisik sebab serangan ngantuk yang tidak mungkin dilawan. Terlebih lagi bagi komisi PKN yang tentu karena ketidaksiapan Tim untuk menyediakan rancangan draf—sebab tidak ada dalam rancangan agenda Kongres—menjadikan kesulitan bagi anggota komisi untuk melakukan pemetaan masalah mengenai sekian persoalan internal naupun eksternal organisasi. Maka dengan berbagai pertimbangan akhirnya semua anggota komisi PKN sepakat untuk menggunakan hasil PKN Kongres Semarang untuk dijadikan acuan pembahasan komisi.
bersambung......

Rabu, 07 September 2011

KOTIM IDUL FITRI 1432

semarak shalat idul fitri 1432 H di kotim yang dilaksanakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kotim, bertempat du lapangan padat karya Baamang: