Selasa, 01 Mei 2012

Dilema Pendidikan Nasional


Pasal 32 Amandemen UUD 1945 Ayat 1 menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2 menyatakan, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah UUD 1945 tersebut diperkuat melalu UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 Ayat 1 UU Sisdiknas menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu, Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 ayat 1), Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberi layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 ayat 1), serta Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 ayat 2). Seperangkat aturan mengenai pendidikan diatas memberikan gambaran secara jelas, bahwa pendidikan merupakan kewajiban terhadap negara dan warga masyarakat. Pemerintah menyediakan sarana dan prasarananya, masyarakat memberikan dukungan terhadap terselenggaranya dunia pendidikan. Namun, kendala yang dihadapi oleh dunia pendidikan tidak mudah. Banyak hal yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan. Ketika banyak media meliput masalah mahalnya biaya pendidikan, banya pembaca memberi komentar yang menyetujui isinya. Bahkan sejumlah pembaca menginginkan agar surat kabar dan berbagai media lainnya secara khusus menyoroti betapa mahalnya biaya pendidikan sekarang. Sebab, dalam kenyataannya, begitu banyak anak miskin tidak bisa sekolah. Biaya yang terlalu tinggi, dan harapan masyarakat atas hasil pendidikan yang tidak bisa dipenuhi sekolah, membuat banyak orang tua mulai mempertanyakan peran dan keberadaan sekolah. Berbagai kisah tentang mahalnya biaya pendidikan dan ‘peran’ sekolah yang turut memainkan biaya sekolah menjadikan sekolah menjadi pasar yang dihitung dengan untung dan rugi. Biaya sekolah (uang) bahkan sudah mulai ikut menentukan arah, kemana pendidikan masyarakat hendak melangkah. Tanpa uang, tidak mungkin seorang anak miskin bisa menikmati pendidikan sekolah. Dengan kata lain, uang sudah amat berperan dalam peri kehidupan manusia yang paling dasar. Uang menjadi value (nilai) yang kian dominan dalam worldview kita saat ini, bukan hanya secara ekonomis tetapi juga sosio-kultural. Terlepas dari baik buruk atas pengaruh masuknya uang dan pasar ke lembaga pendidikan sekolah, yang jelas pengaruh kapitalisme dengan salah satu tandanya uang dan pasar, sudah ikut menguasai sekolah. Maka tidaklah berlebihan kemudian muncul istilah, ’memasarkan sekolah dan menye-kolahkan pasar’. Dampak lebih lanjut, banyak orang tua sekarang membuat kalkulasi, berapa biaya sekolah anaknya dan berapa uang yang akan ia dapat sesudah si anak selesai sekolah. Pandangan ini juga secara tidak langsung menempatkan anak bukan sebagai subjek didik, tetapi aset. Anakpun dilihat sebagai modal (human capital). Guru mempunyai peran yang amat penting dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, jika mereka tidak mendapatkan penghargaan selayaknya, ada kemungkinan besar, para guru tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya. Akibat penghargaan yang tidak menghargai profesionalitas ditambah beban tugas yang begitu tinggi, mengakibatkan amat sedikit yang mau dan ingin menjadi guru. Seperti hukum alam, dampak daru pengaruh pasa pula, membuat kebanyakan siswa SMU yang pandai dan berasal dari sekolah bermutu, tidak ingin menjadi guru. Mereka lebih suka dengan fakultas yang menjanjikan kenyamanan hidup di masa depan. Selanjutnya bisa dibayangkan, apa jadinya proses belajar mengajar di sekolah, apabila input untuk menjadi guru sebenarnya berasal dari bibit-bibit yang tidak unggul. Melihat kenyataan ini, bisa dipahami bahwa pendidikan guru harus menjadi keprihatinan kita bersama. Bagaimana menciptakan guru yang profesional, memiliki inteligensia tinggi, demokratis, dan mampu menjalankan tugasnya secara dialogis. Kita tidak cukup hanya meninabobokkan guru dengan tembang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Siapapun akan mengakui, pendidikan di sekolah tidak mampu mengimbangi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan informatika. Dalam situasi ini segera muncul ketegangan antara tugas utama pendidikan dan tututan penyediaan tenaga terampil untuk kebutuhan industri. Memang, laju perkembangan iptek, terutama revolusi teknologi dan informasi, ikut memacu perkembangan industri yang pada gilirannya ikut mencengkeram sekolah. Benar bahwa sekolah juga harus membuat lulusannya melek teknologi. Akan tetapi, munculnya banyak keluhan bahwa lulusan (baik Sekolah maupun Perguruan Tinggi) tidak memiliki kapasitas dan keterampilan yang dibutuhkan untuk masuk dunia kerja, memaksa sekolah untuk bisa memenuhinya. Atas tuntutan itu, para pengambil kebijakan sering mengambil jalan pintas, labih berpihak pada salah satu tuntutan. Munculnya sekolah Inpres, program wajib belajar, program pengentasan masyarakat dari buta huruf, perubahan kurikulum nasional, program link and match, privatisasi perguruan tinggi, seolah muncul begitu saja sebagai reaksi atas tuntutan keadaan dan masyarakat. Maka dengan segera muncul jargon-jargon seperti ’tuntaskan wajib belajar’ dan lain sebagainya. Akibatnya, muncul kekhawatiran akan hilangnya dimensi humaniora pendidikan. Persoalan lain yang juga mengemuka dalam pendidikan kita adalah terjadinya bias jender. Berbagai penelitian mengenai bahan ajar; pendidikan yang bias jender itu sudah ada sejak kelas I SD. Misalnya dengan memahami, ”tugas ayah adalah sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah utama bagi keluarganya. Dan ibu sebagai kepala rumah tangga, yang tugasnya mengasuh, membimbing dan mendidik anak-anak di rumah”. Berbagai penelitian atas buku pelajaran pun menunjukkan adanya bias jender yang melestarikan ideologi jender (nilai-nilai patriarki) melalui buku-buku pelajaran. Seolah anak perempuan diarahkan menjadi tenaga kerja cadangan dengan peran utama reproduksi. Padahal, kita lihat kenyataan di masyarakat. Tidak sedikit kaum perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, membanting tulang mencukupi kebutuhan suami dan anak-anaknya. Upaya Memperbaiki Dunia Pendidikan Selama ini muncul banyak keluhan mengenai kelemahan kita sebagai bangsa. Kita mengeluhkan korupsi yang merajalela, pelanggaran norma dan hukum yang berlangsung begitu saja. Bahkan mereka yang mestinya menegakkan hukum pun ikut dihukum karena melanggar norma-norma. Atas kerisauan dan kegalauan kita sebagai bangsa, pendidikan segera dilihat sebagai upaya yang bisa mengatasi semua. Banyak pendapat bahwa untuk mengatasi ini, pendidikan harus dirombak total. Untuk melakukan perombakan ini perlu dibuat tujuan pendidikan. Banyak pihak berpandangan, pembaharuan pendidikan yang akan dilaksanakan perlu dirancang guna melahirkan generasi pembaharu, yaitu generasi yang mampu menyelesaikan berbagai masalah dan persoalan yang terasa kian menumpuk. Cara yang harus ditempuh guna menilai dan merancang kurikulum pendidikan untuk masa datang adalah pertama, mempelajari aneka implikasi dari berbagai keinginan masyarakat untuk merevisi kurikulum sekaligus pembaruan pendidikan. Kedua, mempelajari aneka kelemahan yang terkandung dalam kurikulum sekarang, yang ikut melahirkan berbagai kelemahan bangsa. Ketiga, mempelajari berbagai keharusan yang tidak dapat dihindari dalam menyusun kurikulum. Bagaimana pendidikan itu dijalankan? Pertanyaan ini hampir selalu mengemuka tiap kali masalah pendidikan didiskusikan. Dalam arti luas, pendidikan terjadi melalui tiga upaya utama, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Dengan demikian, pendidikan tidak sekedar pengajaran yang hanya ’hidup’ dalam lingkup sekolah dan sistem pendidikan hanya diartikan sebagai ’sekedar’ sistem persekolahan belaka. Sekolah hanya salah satu bentuk upaya pendidikan. Pembiasaan dan peneladanan amat besar pengaruhnya dalam reksa pendidikan. Berbagai pembiasaan ini dilihat sejak anak-anak hingga dewasa. Sedangkan peneladanan, yang merupakan salah satu upaya pendidikan, berkaitan dengan berbagai pengaruh yang ’menimpa’ manusia. Peneladanan amat berkait dengan citra menjadi panutan, entah di luar rumah, sekolah, maupun tempat pergaulan. Peneladanan sendiri terjadi sebagai proses yang biasa disebut sebagai pembelajaran sosial, baik yang menghasilkan pengaruh positif maupun negatif. Berdasarkan upaya pembiasaan, pembelajaran, peneladanan, maka pendidikan tidak bisa lain kecuali dipahami sebagai upaya pembudayaan. Ikhtiar ini pula yang melatari sejarah kemanusiaan sebagai sejarah perkembangan peradaban. Dengan kata lain, pendidikan merupakan upaya pembudayaan demi peradaban manusia. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa pengalihan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi juga mencakup pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial. Wallahualam Bishawab.[] sumber: http://masadmasrur.blog.co.uk

Tidak ada komentar: