Selasa, 06 Januari 2015

TARIK ULUR PELAKSANAAN KURIKULUM 2013


Kebijakan menteri kebudayaan dan pendidikan menengah, yang menyerahkan pelaksanaan Kurikukum kepada sekolah masing-masing untuk memilih kurikulum 2013 (K-13) bagi yang siap dan kembali kepada kurikulum 2006 (KTSP 2006) bagi yang tidak siap, adalah bentuk ketidak jelasan arah kebijakan pendidikan pemerintahan Jokowi-JK. Bahkan kebijakan tersebut sangat rentan dengan diskriminatif jika hanya memberlakukan K-13 di sekolah-sekolah yang dianggap mampu, dan memberlakukan KTSP 2006 di sekolah-sekolah yang dianggap tidak mampu. Penilaian mampu dan tidaknya sekolah dalam melaksanakan K-13 tidak bisa menjadi dasar pengembalian K-13 ke KTSP 2006. Sebab standar mampu dan tidaknya sekolah adalah sangat relatif karena hal ini manyangkut banyak hal, baik SDM, infrastuktur, maupun sarana-sarana lain yang turut menunjang kemampuan sebuah sekolah. Jika persoalannya adalah sumber daya pendidik dan pengelola sekolah, sangat tidak rasional jika kurikulumnya yang diganti. Mestinya peningkatan kualitas SDM itulah yang dilakukan. Demikian halnya dengan infrastruktur dan sarana lainnya. Jika sarananya yang kurang menunjang tentu kebijakan penetapan anggaran pada pos-pos yang terkait langsung dengan keberhasilan pendidikan lebih pas dan masuk akal. Implementasi K-13 memang tidak begitu saja berjalan sesuai dengan yang harapkan, ada banyak evaluasi yang harus dilakukan terutama berkaitan dengan hal-hal teknis penilaian yang masih belum saru arah, pengadaan buku pegangan siswa dan sebagainya. Namun demikian kebijakan mengembalikan K-13 ke KTSP 2006 adalah kebijakan yang sangat tidak paradigmatik. Sebab, selain tidak jelas arah kebijakannya, juga merupakan bentuk kemunduran berpikir dalam dunia pendidikan yang saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Sisi-sisi kemandirian dalam proses pembelajaran, sikap-sosial, peningkatan keterampilan peserta belajar, dan lainnya yang kesemuanya tertuang secara sistematis dalam Kompetensi inti baik KI-1, KI-2, KI-3 dan KI-4 harus menjadi pertimbangan mendasar bagi Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Menengah dalam mengambil kebijakan terhadap penghentian pelaksanaan K-13. Sebab konsep pendidikan integratif yang tertuang dalam K-13 tidak terdapat dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dalam perkembangan implementasi kurikulum 2013, penyelenggara pendidikan baik negeri maupun swasta, guru, kepala sekolah, bahkan peserta didik dan orang tua, secara perlahan mulai memahami bahwa ada harapan besar terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia melalui pelaksanaan kurikulum 2013. Awalnya memang ada kesan paksaaan, akan tetapi lambat laun lembaga-lembaga pendidikan (Sekolah-sekolah) mulai melakukan berbagai kesiapan agar mampu melaksanaan K-13 dengan maksimal. Dapat kita bayangkan bagaimana kondisi sekolah, guru/pendidik, siswa yang mulai merubah dengan penuh kesungguhan pola pikir dari KTSP 2006 ke K-13, namun disaat pola pikir itu sudah mulai tertata, kesiapan-kesiapan mulai dilakukan, tiba-tiba menteri yang baru menjabat belum genap 2 bulan itu memporak-porandakan bangunan pola pikir tersebut… sakitnya tuh disini pak menteri.. Bagaimana juga warna dunia pendidikan Indonesia ke depan, jika sebagian sekolah memberlakukan K-13 dan sebagian lain kembali kepada KTSP 2006. Misalya dalam pelaksaan ujian kompetensi nasional bagi SMK. Apa standar yang harus digunakan apakah K-13 atau KTSP 2006. Atau misalnya dalam hasil laporan penilaian peserta didik, laporan mana yang lebih diterima oleh perguruan tinggi nantinya jika mereka melanjutkan sekolah ke pendidikan tinggi. Dan saya kira akan banyak persoalah lain yang akan muncul terkait ketidakrataan pelaksanaan kurikulum di sekolah. Bukankah ini semakin menunjukkan tidak adanya standar kurikulum yang dimiliki pemerintah saat ini. Atau barangkali bahasa yang tepat untuk semua ini adalah kurikulum AMBURADUL 2014.

Tidak ada komentar: