Rabu, 06 April 2011

CERPEN "Mbah Sarijah"

Oleh


Khilmi Zuhroni

Sudah dua tahun dia menjadi penghuni tetap terminal. Tak ada anak, tak ada suami juga tak ada satupun dari keluarganya yang menemani. Hanya sebuah bungkusan kain lurik kembang yang mulai tak jelas warnanya. Bungkusan itu terikat oleh bagian, entah lengan baju, entah cawet kolor yang tersembul beberapa helai dari bugkusan itu sendiri. Dari ikatannya, tampak bungkusan itu adalah hartanya yang selalu menemani kemanapun dia pergi. Tak banyak dia bicara sekalipun keberadaannya dua tahun di sana telah mejadikan para penghuni terminal yang lain sudah sangat mengenal dirinya “seorang perempuan tua sendirian tanpa keluarga yang setiap pagi berdiri lama, mematung di depan warung dan hanya mau pergi jika telah diberi bungkusan nasi di tangannya”. Semua pedagang-pedagang terminal mengenalnya. Dari pedagang asongan, buruh terminal sampai penjaga kios-kios kecil yang penjajakan penganan-penganan khas daerah, juga minuman soda, roti tawar dan pedagang buah. Juga mereka mengenalnya sebagai penghuni terakhir—sebuah istilah yang menurut para pedagang itu terinspirasi dari sebuah acara tv—sebab setiap antara jam 9 malam, saat bus terakhir melintasi terminal, perempuan tua baju biru dan setelan sarung yang dipakainya sejak setengah tahun itu berlari tergopoh melambaikan tangannya menghentikan bus. Sopir yang sudah lama mengenalnya, tak geming berlalu untuk mengejar waktu menyerahkan uang setoran. Kadang jika lagi baik, mereka melemparkan padanya uang lima ratusan atau seribu. Atau hanya dua ratus, atau sisa minuman atau roti, atau apalah yang bisa diberikan. Sopir yang tidak mengenalnya berhenti. Kondektur turun “Ayo mbah cepat naik, sudah malam…” Dengan setengah ragu dan gerak bibirnya yang gugup perempuan itu berdiri gemetar dengan selidik mata ke kiri ke kanan menyapu deretan kursi-kursi pemunpang yang setengah kosong. “Masing kosong mbah, ayo cepat naik…” bibir dan kepala gugup-nya seperti menyebut nama tapi hanya dia sendiri yang mendengar “Yanto… Yono… Yan.. Yon…”.
“ Siapa mbah…?”
“Yanto… Yono…Yan…Yon…” juga hanya telinganga yang mendengar.
“Wah…orang tua edan. Brangkat bos…” Pinta Kondektur kepada sopir untuk segera berangkat.
Penghuni terminal juga mengenalnya “perempuan tua dari dunia antah-berantah”. Setiap kali mematung di depan warung jika ditanya asalnya, dengan bibir gugup keluar jawaban “Srembang”, besoknya “Srowot”, lusa “Jonogoro”, kadang “Mongan”, Kediri, Pandak, dan jawaban-jawaban yang tak jelas lainnya. Tapi sudah hampir dua tahun ini orang-orang memanggilnya “Mbah Sarijah”, dari kesepakatan mereka sendiri karena jika ditanya nama selalu keluar kata dari bibirnya yang juga tetap gugup “Saijah”, kadang “Samijah”, atau “ Sakijah”, tapi lebih sering terdengar “Sarijah”. Nyatanya perempuan itu senang juga dengan sebutan “mbah Sarijah”. Sejak itu dari mulai anak-anak pengamen, pedagang asongan, tukang sapu terminal, kondektur, juga penghuni terminal yang lain memanggilnya “Mbah Sarijah”.
Tak ada yang tahu apa sebetulnya yang dibawa mbah Sarijah dalam bungkusan itu. Atau memang tak ada yang mau tahu. Kehidupan terminal memang memiliki alur hidup sendiri. Berbagai orang dengan berbagai asal daerah dan berbagai kebutuhan dan sejarah hidup datang-pergi setiap hari. Tak henti. Tak saling sapa. Sebab, menyapa berari memberi peluang orang lain untuk berbuat sesuatu yang tak jelas kebutuhan dan keinginannya. Beruntung jika secara kebetulan bersapa dengan orang baik. Rasa senasib-seperjalanan akan memberi rasa nyaman dan keberanian menghabiskan waktu sepanjang perjalanan. Sudah banyak deretan cerita-cerita naas mengalir berawal dari sapa-menyapa di terminal. Ada yang bangun-bangun, tahu-tahu uang dan bawaannya hilang, kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Ada yang memar dan bengkak pada mata kiri setelah tegur-sapa dan tawar-menawar, sebab tak jadi membeli barang. Kadang tak sadar ikutan juga diajak jalan sampai lorong-lorong gelap warung pojok terminal. Namun banyak juga yang berawal dari sapa-menyapa, berakhir di pelaminan, mengangkat saudara, dapat lowongan kerja dan sebagainya. Semua tergantung nasib. Demikian juga mbah Sarijah yang kebawa arus zaman dua tahu lalu hingga menjadi penghuni terminal. Hanya awak bus, kru angkutan, dan berbagai jasa angkutan lain yang paling suka menyapa. Tentu juga dengan kebutuhan dan keinginan, untuk mendapatkan penumpang sebanyak-banyaknya.
Sekalipun sudah dua tahun di terminal, mbah Sarijah tidak suka dengan suasana ramai. Suara-suara mesin bus dan sambut-suara kondektur dari pagi hingga malam yang selalu menawarkan tujuan “Ngawi-Ngawi”, “Solo-Jogja…” “Boyo-pak, Boyo…”,”Nganjuk-Nganjuk…”, “Kediri, om…?” Hanya membuat kepalanya gemetar-gugup dan matanya menjadi mengawas-menyelidik deretan kursi tunggu di ruang tengah terminal. Jika suara semakin berisik dia mendekap erat bungkusan, memojok di lorong sempit setengah gelap di belakang ruang tunggu terminal. Di sanalah selama dua tahun mbah Sarijah menghabiskan hari-hari tuanya. Jika dilihatnya sebuah wajah pada penumpang yang kuluar-masuk ruang tunggu, akan dikejar bersama bungkusannya dengan tergopoh “Yanto…Yono…Yan…Yon…” terus mengejar dan komat-kamit menyebut nama, sekali terdengar, namun lebih sering hanya gerakan bibir dari kepala gugupnya. “Yanto… Yono…Yan…Yon…” Siapapun yang didapatinya menjadi terkejut, takut, risih, mengibaskan tangannya dan segera mempercepat langkah “Dasar orang tua edan…”. Mbah Sarijah berhenti mengatur nafas yang tersengal-berat “ Yanto. Yono. Yan. Yon.” Melambai tangannya pada ruang kosong, pada bayang-bayang penumpang yang keluar-masuk terminal siang hari. Senja memasuki hari, hanya gelap yang ada. Antara samar diantara sorot lampu-lampu bus yang lalu lalang, juga lampu-lampu terminal yang sesaat hidup-sesaat mati, matanya terus mengawasi bus-bus yang datang-pergi dengan cepat mengejar penghabisan hari.
Hari-hari berjalan tak lain dari biasanya. Bangun, dengan kepala gugup mencari bungkusannya. Didekap. Berjalan setengah sempoyong, lalu berdiri mematung di depan warung nasi. “Ini mbah, sudah sana pergi nanti orang-orang tak mau mampir kalau terus berdiri di sini…” Tapi pagi itu dia tidak segera pergi, matanya mengawas tajam pada sebuah wajah di dalam warung.
“Sudah mbah, mau apa lagi ?” Tanya penjual nasi. Mbah Sarijah tetap mematung dengan mata semakin tajam “Yanto…Yono…Yan…Yon…”Hanya gerakan gugup yang keluar dari bibirnya. “Ada apa toh mbah..?” mbah Sarijah tak jawab. Pelan-pelan melangkah menghampiri seeorang yang tengah makan di meja belakang warung itu.
“Yanto…Yono…”Panggilnya dengan suara setengah nada
“Siapa mbah..?” seseorang itu menghentikan makannya.
“Sudah mbah pergi sana, orang lagi makan diajak ngomong…” tegur pemilik warung. Mbah Sarijah tak peduli dengan pertanyaan dan teguran itu, dengan suara gugup terpotong-potong “Aku diusir Suti adikmu, dari rumah”
“Siapa mbah. Siapa yang diusir?”
“Katanya aku membebani keluarganya…”
“Siapa membebani siapa mbah…?”.
“Katanya kamu di Jombang, aku mencarimu kesini. Sudah dua tahun” Dari bungkusan itu dikeluarkannya sesuatu “Katanya kamu di Jombang, aku mencarimu kesini. Sudah dua tahun” Kalimat itu diulanginya kembali.
“Foto siapa mbah?”
“Aku diusir Suti, Yan. Yon…”
“Foto siapa toh mbah…?” Tanya pemilik warung, lalu diambilnya foto dari tangan seorang yang sedang makan di warungnya. Sebuah foto kusam dengan dua wajah kembar yang mulai berbintik kelembaban. Di belakangnya bertulis latin “Yanto dan Yono Jombang”.
“Katanya aku membebani keluarganya”
“Aku mencarimu kesini. Sudah dua tahun”
“Yanto…Yono…Yan…Yon…”. Menghabiskan separuh makannya, orang itu bergegas mengejar bus yang sejak tadi ditunggunya. Mbah Sarijah tergopoh mengejar dengan kepala gugup dan bungkusannya, melambaikan tangan pada ruang kosong “Yanto…Yono…Yan…Yon…”.
“Aku mencarimu kesini. Sudah dua tahun…”

Jogjakarta, 24 April 2007

Tidak ada komentar: