Minggu, 03 April 2011

KESADARAN PROFETIK DAN KESADARAN MISTIK MENURUT MUHAMMAD IQBA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nubūah merupakan sumber utama kebangkitan diri. Cara berpikir yang didasarkan pada konsepsi nubūah memberikan akal-pikiran, keimanan, disiplin dan penyempurnaan kepada terbentuknya suatu bangsa yang besar. Dia tidak menjadikan diri menuju tingkat subyektifitas yang sempit, akan tetapi pemahaman individualitas seseorang melalui renungan, introspeksi, pengenalan diri dan realisasi diri, pribadi akan sampai pada kesadaran tanggung jawabnya.
Istilah kesadaran profetik (Nubūah, kenabian) dan mistik banyak terdapat dalam karya yang menyangkut diri Muhammad Iqbal. Baik dalam karya-karya pemikiran Muhammad Iqbal sendiri, maupun karya-karya penelitian dan tulisan yang terkait dengannya. Dengan demikian kedua istilah tersebut tentu mengandung makna yang sangat mendalam dalam sekian luas pemikiran Muhammad Iqbal terlebih dalam upayanya melakukan perubahan pemikiran keagamaan dalam Islam. Di samping itu sebagai sosok yang tidak hanya dikenal oleh dunia sebagai penyair, namun juga sebagai filosof, hakim sekaligus politikus tentunya kesadaran propfetik dan kesadaran mistik memiliki relevansi tersendiri dalam kegemilangan pemikirannya.
Demikian besarnya gagasan Iqbal tentang kesadaran profetik, Annemarie Schimmel banyak menyebut karya-karya filosof dan penyair Iqbal sebagai karya-karya yang senantiasa menyuarakan kebesaran jiwa-jiwa profetik, atau karya-karya yang kental dengan nuansa profetologis. Hal senada juga disampaikan oleh Mazheruddin Siddiqi, yang mengatakan bahwa dalam pemikiran Iqbal jiwa-jiwa profetik itu digambarkan sebagai individu yang dapat menyatakan dirinya secara spiritual dan intelektual dalam bentuk sikap kreatif. Seorang penafsir pemikiran Iqbal, Ghulam Parvez, bahkan mengatakan bahwa konsepsi kenabian yang telah dibangun oleh Iqbal memberikan inspirasi besar bagi kebangkitan pemikiran terutama di dalam kalangan-kalangan progresif tertentu. Dari konsepsi kenabian itu juga Parvez mengklaim bahwa hanya pintu nubūah segi personal Muhammad yang tertutup, sedang risālah (ideologi) terpulang kepada orang-orang muslim untuk mengamalkan dan mengelaborasinya.
Meskipun demikian, ada sebagian penulis yang mengatakan bahwa dalam nuansa profetiknya yang menggambarkan ego sebagai kekuatan pribadi yang aktif dan kreatif, secara konsepsinal, Iqbal belum dapat lepas sepenuhnya dari mistisisme yang dapat disebut sebagai awal karir pemikirannya. Hal ini misalnya terdapat dalam konsep Tuhan sebagai pusat Keindahan, di mana semua realitas mendapat pancaran dari Pusat Keindahan tersebut. Dengan penggambaran Tuhan sebagai Pusat Keindahan dan Keindahan Abadi yang tidak bergantung kepada yang lain, dengan demikian gerak pribadi juga tergantung oleh pancaran Keindahan ini sehingga tidak sepenuhnya kreatif dalam substansinya, Iqbal sebetulnya seorang penganut aliran panteisme, terutama panteisme Ibnu ‘Arabī.
Maka, untuk memahami betul bagaimana posisi profetik terkait dengan penelitian ini, kesadaran profetik tersebut mencoba dilihat secara oposisi dengan kesadaran mistik, sebab dalam kajian tentang pemikiran Iqbal, ada yang mengatakan dalam medua konsepsi tersebut Iqbal tidak memiliki batasan yang jelas bagaimana dia mencoba menjelaskan antara kesadaran mistik dan kesadaran profetik (nubūah). Sementara Annemarie Schimmel misalnya mengatakan bahwa mistisisme yang dipahami oleh Iqbal justeru adalah mistisisme yang profetis. Apakah antara kesadaran profetik dan kesadaran mistik bersifat kontradiktif , afirmatif, maupun integratif dalam pengalaman keagamaan sebagaimana dipahami oleh Iqbal, penelitian ini lebih lanjut akan difokuskan pada pembahasan tersebut.
Melakukan kajian pemikiran secara filosofis murni tanpa bersinggungan dengan teologi sama sekali, dalam tradisi filsafat Islam, bukan hal yang mudah untuk dihindari, sebab sangkut paut antara keduanya memang kerap kali muncul. Hal ini misalnya terjadi dalam aliran ‘Asy’arī, di satu sisi mereka bicara tentang akal dan wahyu dalam kerangka teologis, sementara di sisi yang lain dengan tema yang sama mereka melakukan pembahasan itu dalam kerangka filosofis murni.
Namun demikian dengan kajian yang mendalam dan melihat keduanya secara integral akan dapat juga dikenali nuansanya, mana wilayah teologis dan wilayah filosofis. Dibutuhkan ketelitian yang cermat atas setiap usaha interpreasi dari berbagai pemaparan konsep dan pemikiran yang ditampilkan. Kesulitan serupa juga penulis alami saat melakukan kajian tentang kesadaran profetik dan kesadaran mistik dalam pemikiran Muhammad Iqbal. Sebab hampir sebagian besar pemikiran Iqbal tidak berhenti sebatas hasil dari ketajaman filsafatnya an-sich, akan tetapi lebih jauh pemikiran Iqbal secara sengaja juga ditujukan kepada umat Islam saat itu yang mengalami keterbelakangan di berbagai bidang. Meskipun demikian, usaha untuk tetap berada dalam lajur filosofis dengan sekuat tenaga akan tetap dipertahankan.
Ada beberapa pokok persoalan mengapa tema ini menjadi penting untuk diangkat. Pertama, bahwa sebagai seorang pemikir sekaligus penyair, corak pemikiran Muhammad Iqbal sangat kental dengan nuansa kenabian, yakni suatu kesadaran yang disebutnya sebagai sebuah proses konstruksi kehidupan yang terus-menerus bergerak menuju kesempurnaan, di mana manusia yang disebut al-Qur’an sebagai wakil Tuhan juga sangat terlibat aktif dalam proses menuju kesempurnaan tersebut. Kedua, bahwa meskipun banyak yang menilai kehidupan Muhammad Iqbal sangat bernilai sufistik, dengan ciri utama karya-karya puisinya yang bernuansa Rumian, namun semangat pemikiran Iqbal tetap pada gagasan kebangkitan diri untuk selalu terlibat dalam kehidupan yang telah diciptaan Tuhan, dan tidak sekali-kali menafikannya. Ketiga, bahwa banyak pengamat dan peneliti yang melihat karya-karya Muhammad Iqbal memiliki corak profetik yang sangat khas.
Salah satu pokok masalah yang menimbulkan perdebatan antara pemikiran Iqbal dengan mistisisme adalah masalah monisme dan pluralisme. Bagi Iqbal watak utama bagi setiap ego adalah individualitasnya. Alam semesta merupakan kumpulan dari individu-individu, dan Tuhan sendiri adalah sebagai individu yang sempurna. Perbedaan yang paling jelas antara pemikiran Iqbal dengan mistisisme terutama dalam konsepsi Wahdāh al-Wujūd dalam konteks ini adalah bahwa spiritualitas dalam individu sebagaimana menurut Iqbal lebih menekankan pada satu aspek dari spiritualitas yang menyebar, yakni yang bersifat pluralistik, sementara Wahdāh al-Wujūd lebih menekankan pada aspek monistiknya.
Wujud Tuhan dalam Wahdāh al-Wujūd bersifat wajib ada, meskipun sekaligus bersifat imanen dalam alam benda-benda dan bersifat transenden. Peristiwa-peristiwa diterangkan dalam hukum sebab-akibat, dan kewajiban sosial dilakukan seakan-akan dunia ini adalah dunia yang riil. Sementara Iqbal tidak pernah bicara tentang pluralitas dalam pengertian bahwa dunia ini benar-benar tidak bergantung pada kesadaran Ilahiah. Meskipun alam semesta ini terdiri dari kumpulan individu-individu, ada jiwa kreatif yang sama yang membuat setiap individu di dalamnya menjadi aktif.
Melalui jiwa kreatif inilah diri senantiasa berusaha keras penguasai pribadinya secara bertahap menuju gerak kesempurnaan. Yakni dengan tahapan belajar mematuhi dan tunduk pada kodrat manusia sebagai makhluk dan hukum-hukum Illahi. Setelah itu tahap yang lebih lanjut dengan belajar disiplin terutama dalam mengendalikan diri dari berbagai kelemahan-kelemahan pribadi melalui ketakutan dan cinta pada Tuhan dan ketakbergantungan pada dunia. Tahap selanjutnya adalah proses pencapaian kesempurnaan spiritual yaitu dengan usaha mendekati Tuhan secara konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Sang pribadi mencari dengan kekuatan dan kemauannya.
Sikap pluralistik yang dimaksud oleh Muhammad Iqbal terdapat pada bagaimana jiwa-jiwa kreatif itu senantiasa bergerak mencapai tingkat kesempurnaan pribadi. Tuhan tidak dapat diperoleh dengan cara meninta-meminta dan memohon semata. Pada saat manusia telah menemukan Tuhan pribadi tidak boleh larut terserap ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada (manunggal), sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya. Dengan menyerap Tuhan kedalam dirinya, tumbuhlah ego. Ego menjadi super Ego, maka pribadi telah naik ke tingkatan wakil Tuhan. Dengan demikian dia dianggap telah memenuhi syarat menjalankan tugas ke-khalīfah-an, memancarkan sifat-sifat Ilahiah dalam mikrokosmos.
Sementara mistisisme bicara tentang menghilangkan diri ‘Ittihād seseorang secara total atau penafian diri secara menyeluruh, Iqbal bicara tentang penyempurnaan diri. Konsep tahap akhir mistisisme adalah konsep identifikasi menyeluruh keinginan individu secara sempurna dengan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Iqbal membedakan antara kesadaran kenabian (profetik) dan kesadaran mistik. Dalam mistik identifikasi ini dicapai dengan cara penafian diri, sedangkan dalam profetik identifikasi dilakukan dengan cara mengembangkan suatu kesadaran bahwa aktivitas kreatif diri adalah aktifitas Ilahiah.
Tujuan kesadaran mistik adalah membuat kesadaran individu terserap ketika persatuan dengan Tuhan telah dicapai. Di sisi lain, kesadaran kenabian memiliki tahapan kembali ke dunia realitas ini untuk menegaskan dirinya sendiri dalam membuat dan mengatur alam semesta. Dengan demikian keberadaan nabi adalah sebuah momentum semangat baru bagi arah tata peradaban manusia di mana goncangan energi-energi dunia psikologis saat pertemuannya dengan Allah merupakan pengalaman religius yang secara konkret mendasari hasrat hendak melihat pengalaman religiusnya berubah menjadi suatu dorongan yang besar untuk menciptakan budaya baru yang merupakan koreksi atas berbagai tradisi dan sejarah terahulu yang dirasa telah jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan dan visi utama penciptaan manusia.
Untuk mendalami lebih jauh bagaimana makna mistik maupun profetik, ada baiknya penulis mengetengahkan beberapa pemikiran tokoh tentang keduanya. Di mana dari proses deskripsi dan analisis mengenai berbagai makna yang terkandung di dalamnya, penulis akan mencoba melakukan interpretasi terhadap pokok kajian yang akan dibahas lebih jauh tentang kesadaran mistik dan kesadaran profetik. Dari makna-makna yang nantinya diperoleh itu juga ruang lingkup penelitian ini akan banyak berkutat di dalamnya. Sebagian besar peneliti dan ahli mistik berpendapat bahwa mistik adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan kontemplasi.
Sementara A.J. Arberry, memandang bahwa mistis sebagai satu upaya pengabdian hidup manusia untuk mencari persatuan dengan sang Pencipta. Dalam hal ini kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ‘Ittihād bersatu dengan Tuhan. Dia menyebut sufisme sebagai julukan terhadap sebuah gerakan mistik Islam. Seorang sufi dengan demikian adalah seorang muslim yang mengabdikan hidupnya untuk mencari persatuan mistik—atau lebih tepatnya dikatakan sebagai reuni mistik—dengan sang Pencipta.
Sedangkan Reynold A. Nicholson, melihat sufisme—mistik dalam Islam—merupakan bagian dari filsafat Islam yang telah dirumuskan secara mendalam sebagai pemahaman menenai kenyataan Ilahi. Kenyataan Ilahi inilah yang oleh sufi besar Islam dari Bagdad al-Jūnaid (w.910 M) dikatakan sebagai pengalaman mistik tertinggi, di mana adanya penyatuan antara ego temporal ke dalam ego Abadi.
Berbeda dengan beberapa definisi di atas, Syekh Ibnu ’Ajibā (w.1809) mengartikan sufisme sebagai pengetahuan yang dipelajari seseorang agar dapat berlaku sesuai dengan kehendak Allah melalui penjernihan hati dan membuatnya riang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik. Laku sufisme bermula dari pengetahuan, di tengahnya adalah perbuatan dan di penghujungnya adalah hadiah spiritual.
Ninian Smart dalam History of Mysticism, menulis bahwa pengalaman mistik dibedakan dengan pengalaman kenabian. Pengalaman kenabian cirinya adalah merasakan kehadiran Tuhan "The mysterium tramendum et fascinans". Sedangkan pengalaman mistik yang introvert di antara cirinya adalah merasakan hubungan dengan sesuatu yang transenden dan rasa berhubungan itu menimbulkan rasa bahagia. Lebih lanjut dia membagi pengalaman mistik menjadi tiga ciri, yakni: menghayati sesuatu yang transenden; menimbulkan rasa bahagia dan tenang; serta ketiga, diperoleh dengan jalan kontemplasi dan penguasaan diri.
Muhammad Iqbal sendiri memberikan tingkatan kesadaran mistik secara umum tentang garis besar sifat-sifat pengalaman mistik tersebut. Menurutnya sebagai pokok utama yang harus diajukan adalah semua pengalaman bersifat langsung. Keberlangsungan pengalaman mistik itu hanyalah berarti bahwa kita mengenal Tuhan persis sebagaimana kita mengenal obyek-obyek lain.

All experience is immediate. As gions of normal experience are subject to interpretation of sense-data for our knowledge of the external world, so the region of mystic experience is subject to interpretation for our knowledge of God.

(Semua pengalaman adalah langsung. Sebagaimana pada pengalaman normal yang melakukan penafsiran terhadap subyek terindra yang ada di luar, begitu juga halnya dengan pengalaman mistik pada saat menafsirkan pengetahuan tentang Tuhan)

Kedua, bahwa pengalaman mistik tidak dapat diuraikan. Berbeda dengan kesadaran rasional yang secara praksis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekelilingnya dengan cara mengambil kenyataan sedikit demi sedikit, pada suasana mistik, sang pelaku mistik, dihadapkan pada semua keseluruhan kenyataan, bercampur-baur satu dengan yang lainnya suatu kesatuan yang tidak dapat diuraikan karena tidak adanya perbedaan antara subyek dan obyek.
Pokok ketiga ialah bahwa bagi mistik suasana itu merupakan momentum penggabungan yang rapat sekali dengan suatu pribadi lain yang tunggal. Sebagai proses penggabungan dengan pribadi lain yang tunggal tentunya pribadi yang mengalami kondisi ini tidak sepenuhnya pasif, sebab untuk sampai pada penggabungan kalbu subyektifitas murni harus berupaya keras mencapai kearah sana (laku mistik), dalam arti bahwa kelangsungan pengalaman dalam suasana mistik bukanlah tanpa pararel.
Oleh sebab pengalaman mistik itu secara langsung dialami, maka dia lebih bersifat perasaan psikologis ketimbang pikiran. Sementara itu perasaan menurut Muhammad Iqbal adalah ketidakstabilan dari seluruh pribadi yang sadar; dan tempat stabilnya pribadi itu tidaklah terletak dalam batasannya sendiri, tapi melalui batas itu. Dengan demikian sebagai sebuah perasaan, pengalaman mistik seharusnya memiliki tujuan, sebab tanpa tujuan sama tidak mungkinnya dengan sebuah kegiatan tanpa adanya tujuan. Sebab, sebagai suatu pengalaman kondisi itu tidak akan terus-menerus terjadi. Seperti pengalaman-pengalaman biasa kondisi itu akan kembali ke arah normal. Dari kenyataan ini jelaslah bahwa suasana mistik juga akan hilang sebagaimana pengalaman yang lain. Di sinilah menurut Muhammad Iqbal, adanya perbedaan sangat mendasar terutama terletak pada kesinambungan dari kesudahan pengalaman tersebut, yakni antara penganut mistik dengan seorang nabi.
Untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam tentang kesadaran nubūah, kenabian atau profetik, beberapa pandangan filosof Islam perlu kiranya diketengahkan sebagai bahan perbandingan analisa. Abū Nasr Muhammad al-Fārābī (257H/870 M - 330H/950 M) misalnya berpendapat bahwa nabi adalah manusia pilihan yang sanggup melakukan komunikasi dengan akal kesepuluh. Dalam bangunan sistem pemerintahan ideal " al-Madīnah al-Fadīlah", al-Fārābī menempatkan nabi sebagai sebaik-baik kepala masyarakat, yakni sebagai sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan para filosof yang melakukan komunikasi dengan akal Kesepuluh melalui usaha sendiri dengan menggunakan akal mustafād, nabi melakukan komunikasi dengan Akal Kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri, melainkan atas pemberian dari Tuhan. Pemberian itu berwujud kemampuan daya imajinasi yang sangat kuat sehingga memungkinkan mereka sanggup berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa melalui latihan yang biasa dijalani oleh para filosof.
Dengan adanya kemampuan berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh itulah nabi atau rasul, dalam pandangan al-Fārābī, adalah sosok pemimpin yang ideal. Sebab mereka menguasai pengetahuan universal yang sanggup mereka dapat melalui komunikasi tersebut sehingga dapat mengatur bumi ini dengan baik dan berfaedah bagi masyarakat. Tugas kepala negara dengan demikian, bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia mempunyai akhlak yang baik.
Sementara Abū ‘Ali Husein Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sīnā (370 H/980 M - 428 H/1037 M) dalam filsafat jiwa-nya yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, membagi jiwa dalam tiga tingkatan, yakni ; Jiwa tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia. Sifat seseorang sangat dipengaruhi oleh ketiga jiwa tersebut. Jika jiwa binatang yang banyak menguasai manusia, maka manusia dapat menyerupai binatang dan seterusnya. Sementara itu terkait dengan posisi kanabian, menurut Ibnu Sina adakalanya Tuhan menganugerahkan akal manusia yang lebih kuat yang disebut sebagai al-Hāds (intuisi). Akal yang mempunyai daya suci semacan ini hanya terdapat dalam nabi-nabi. Dengan daya yang kuat ini, dengan mudah nabi-nabi dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan menerima cahaya serta wahyu dari Tuhan.
Yang bisa menjadi aktual secara sempurna tanpa melalui adanya perantara itulah yang disebut Nabi, yang padanya terdapat puncak tingkat-tingkat keunggulan dalam lingkungan bentuk-bentuk material, dan nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya serta menguasai mereka.
Sedangkan Ibnu ‘Arabī ( 1164 – 1240 M), memandang kenabian sebagai derajat makrifat yang membuat dia dapat memahami hubungan yang jelas antara Tuhan (Realitas) yang dihadapinya dengan manifestasi, dan menyadari kesatuan esensialnya dengan realitas Tunggal. Dalam pengertian paling luas, mereka mewarisi pengetahuan karena telah merupakan bagian dalam kenabian mereka (yakni pengetahuan esoterik) yang berasal dari Ruh Muhammad.
Wakil sebenarnya (khalīfah) dari Tuhan adalah Ruh Muhammad yang terus-menerus memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk nabi atau santo-santo, yakni kelas manusia yang termasuk dalam kateori manusia sempurna, yang masing-masing dapat disebut sebagai khalīfah. Kini, oleh karena kerasulan dan kenabian itu telah berakhir, ke-khalīfah-an umum sajalah yang tinggal dan telah menjadi warisan eksklusif dari santo-santo muslim yang juga merupakan pengikut-pengikut dari hukum Muhammad.
Dalam karyanya yang berjudul Javid Namah, Muhammad Iqbal menggambarkan bagaimana besarnya pengaruh penciptaan manusia terhadap kehidupan bumi yang pada awalnya hanya menjadi cibiran dan makian kehidupan langit. Namun demikian keberadaan manusia tidaklah memiliki arti tanpa adanya kehendak untuk selalu tampil. Menurutnya eksistensi ialah hasrat untuk menjelmakan diri. Hidup berarti kemauan untuk untuk membuktikan bahwa diri ini ada. Bentuk yang paling nyata dari pernyataan wujud ini terdapat dalam peristiwa mi'raj. Yakni sebuah hasrat mencari bukti serta kesaksian untuk mengukuhkan wujud.
Tanpa kesaksian itu, wujud kita tidak lain bagai warna dan aroma pada setangkai bunga. Tidak ada satupun yang dapat tegak dihadapan-Nya. Tapi yang mampu bertahan, ia bagai emas murni. Jangan sia-siakan, walau sejumput kecilpun, cahaya yang kau miliki.....hanya wujud yang hidup sajalah yang patut beroleh sanjungan, sebab jika tidak, nyala api wujud tidak lain daripada asap belaka.

Selanjutnya terkait dengan mandat kenabian, Iqbal mengatakan bahwa karena nabi telah diutus sebagai Rahmatan li al-'Alamīn (sebagai rahmat bagi alam semesta), maka penganut nabi juga tentulah perwujudan rahmat bagi masyarakat dunia. Dunia telah diciptakan demi dia dan dia harus bertindak di dalamnya, jika ini berlaku bagi individu muslim, tentunya hal itu juga berlaku bagi masyarakat beriman yang ideal yang menggantikan nabi. Finalitas kenabian berarti sekaligus membuka jalan-jalan baru dalam penelitian dan pandangan-pandangan ilmiah sebagai proses manusia untuk selalu berusaha mencapai tahap kesempurnaan pribadi.





B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana telah diulas di atas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Muhammad Iqbal tentang kesadaran mistik dan kesadaran profetik ?
2. Bagaimana relasi antara kesadaran mistik dan kesaradan profetik dengan konsepsi khudī (filsafat Ego) Muhammad Iqbal

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah berupa deskripsi tentang pemikiran Muhammad Iqbal khususnya kajian yang lebih mendalam tentang perbedaan, hubungan dan korelasi antara kesadaran profetik dan kesadaran mistik. Adapun lebih jauh deskripsi yang diharapkan adalah :
1. Mengetahui dan memahami bagaimana pandangan Muhammad Iqbal tentang makna kesadaran profetik dan kesadaran mistik.
2. Mengetahui dan memahami relasi antara kesadaran profetik dan kesadaran mistik dengan konsepsi khudī (filsafat Ego) Muhammad Iqbal.
Selanjutnya, penulisan skripsi ini diharapkan memiliki nilai guna bagi proses pengembangan keilmuan terutama berkenaan dengan kajian pemikiran Muhammad Iqbal secara khusus dan pengembangan pemikiran filsafat Islam secara umum. Disamping juga, secara praksis, penulisan skripsi ini diajukan sebagai syarat menyelesaikan studi strata satu pada jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta.
D. Kajian Pustaka
Sebagai filosof sekaligus penyair yang telah memberikan kontribusi besar atas kajian dan gerakan pemikiran Islam, karya-karya dan tulisan yang mengangkat. Muhammad Iqbal tak terbilang jumlahnya. Baik yang mengapresiasi karya puisinya, pemikiran Islamnya, filsafatnya, maupun penerjemahan karya-karyanya dalam berbagai bahasa.
Salah satu karya intelektual yang mengkaji secara mendalam karya puisinya adalah berjudul Iqbal; Sirātuh wa Falsafātuh wa Syi’ruh, karangan ‘Abdul Wahhab ‘Azzam yang diterbitkan pertama kali di Pakistan pada tahun 1954. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Filsafat dan Puisi Iqbal oleh Ahmad Rofi’ Usman yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka, Bandung: 1985. Karya ini dimulai dengan membahas kehidupan penyair-filosof Iqbal sejak kelahirannya sampai perjalanan karir dan berbagai karya-karya Iqbal. Sebagai seorang yang sangat dekat secara pemikiran dan fisik dengan Iqbal, penulis dengan penuh semangat berhasil memberikan gambaran yang sangat utuh tentang sosok pemikir muslim Muhammaq Iqbal. Dalam pengantarnya dia menjelaskan bagaimana gairah dan semangat Iqbal dalam mengobarkan api-api perjuangan bagi kebangkitan generasi muda yang saat itu mengalami kelemahan gerak dan terbuai oleh materialisme barat.


Sedangkan karya yang mengupas tentang pemikirannya adalah MM. Syarif, berjudul Muhammad Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terjemahan Yusuf Jamil, Mizan, 1984. Karya ini lebih banyak mengupas tentang filsafat Iqbal, terutama yang terkait dengan konsepsi ketuhanan dan keindahan, serta pembahasan yang cukup singkat tentang seni. Untuk mempermudah memetakan pemikiran Iqbal, penulis mencoba mengelompokkan tahapan perkembangan pemikiran Iqbal ke dalam tiga periode. Yakni; periode pertama, antara tahun 1901 – 1908. dalam masa ini, menurut penulis, pemikiran Iqbal tentang Tuhan dan keindahan lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Platonis. Lalu periode kedua, yakni antara tahun 1908 – 1920 yang mulai munculnya pemikiran Iqbal tentang keindahan dan cinta, serta periode ketiga antara tahun 1930 -1938 yang merupakan puncak filsafat diri (Ego)-nya.
Sementara itu, karya yang juga banyak mengupas filsafat Muhammad Iqbal adalah tulisan ‘Abdul Haleem Hilal, Social Philosophy of Sir Muhammad Iqbal (Delhi, India: Chitli Qabar, 1995). Selain mengupas berbagai pemikiran Iqbal, karya ini lebih dititik beratkan pada konsepsi Iqbal tentang Khudī (pribadi). Yakni Pribadi yang bergerak aktif dalam peran social masyarakat. Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu-individu. Namun tidak sebagai kumpulan yang saling terpisah, akan tetapi merupakan satu kesatuan secara keseluruhan. Dalam keseluruhan itu bagian yang lain tidak dapat hidup dan berkembang tanpa sebagian yang lain.
Masyarakat adalah ibarat organ tubuh yang masing-masing bagiannya memiliki peran yang sangat signifikan dalam tumbuh dan berkembang bersama. Tanpa adanya individu-individu yang sadar akan peran sosialnya masing-masing keberlangsungan hidup masyarakat akan mengalami goncangan negatif dan disharmoni.
Disamping karya-karya tersebut ada beberapa karya skripsi maupun tesis yang juga mengangkat pemikiran Muhammad Iqbal. Diantaranya adalah tulisan Dhian Kusumaratri, yang lebih menekankan pada perbandingan konsepsi mistik antara Muhammad Iqbal dengan William James. Selain itu ada juga skripsi Ahmad Maulana, yang melakukan kajian tentang eksistensi manusia menurut Muhammad Iqbal, serta tesis karya Lukman S. Thahir yang membahas liberalisme Islam dalam pemikiran Iqbal.
Sebagai pemikir yang sepanjang sejarah pemikiran Islam memiliki kontribusi yang besar, usaha untuk mengenal pribadi Iqbal tentu harus lebih banyak dan lebih mendalam melalui berbagai penelitian yang dilakukan untuk menggali terus-menerus pemikir besar ini. Dari beberapa karya di atas, sekalipun hampir semuanya bertolak pada konsepsi pribadi manurut Iqbal, serta relasi antara ego dan super-Ego, namun belum memberikan penjelasan lebih lengkap bagaimana bagaimana Iqbal memberikan penjelasan tentang kesadaran profetik dan kesadaran mistik. Sebab kedua kesadaran ini dalam pengalaman keagamaan manusia memiliki ciri dan identifikasi yang sangat berbeda.

E. Metodologi Penelitian
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, disiplin ilmu filsafat juga memiliki metode khusus untuk penelitian. Oleh karena itu pendekatan filosofis merupakan corak atau tipologi yang paling menonjol dalam kajian pemikiran Iqbal terkait bahasan yang diangkat dalam penelitian kali ini, yakni tentang kesadaran profetik dan kesadaran mistik. Dalam penelitian ini karya – karya Muhammad Iqbal tidak dipandang atau diteliti menurut nilai sastra, atau menurut arti politis dan budaya, tapi dipandang atau diteliti sebagai naskah filsafat yakni sejauh nama makna dan visi filosofis yang dikandungnya.
Melihat latar belakang masalah yang diangkat, penelitian ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan/studi pustaka (Library Research), yaitu sebuah penelitian yang memfokuskan penelitiannya dengan menggunakan data dan informasi dari berbagai macam literatur baik berupa buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan-catatan, kisah sejarah dan lain-lain.
Sementara itu dalam penelitian ini, untuk mempermudah pembahasan serta sebagai syarat ilmiah yang diharapkan mampu menyintuh persoalah secara lebih mendalam dan untuk meminimalisir terjadinya distorsi pemikiran, penulisan ini menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan sesuatu yang sangat penting dalam penelitian ilmiah. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, sebagai penelitian yang sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan/studi pustaka (Library Research), pengumpulan data terutama difokuskan pada data dan informasi dari berbagai macam literatur baik berupa buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan-catatan, kisah sejarah dan lain-lain yang terkait dengan pemikiran Muhammad Iqbal terutama yang berkaitan dengan konsepsi kesadaran profetik dan kesadaran mistik. Adapun sumber-sumber data tersebut dapat berupa data primer maupun data sekunder. Sebagai sumber data utama atau data primer dalam penelitian ini, penulis mengambil tulisan-tulisan yang secara langsung ditulis oleh Iqbal sendiri, diantaranya adalah :
a. The Development of Metaphysic in Persia, yang ditulisnya di London pada tahun 1908. Karya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Indonesia buku ini diterjemahkan oleh Juba’ Ayyoub, dengan judul Metafisika Persia; Sebuah Sumbangan Untuk Sejarah Filsafat Islam, yang diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1990.
b. The Reconstructions of Religious Thought in Islam, yang ditulisnya pada tahun 1930, namun baru diterbitkan di London oleh Oxford University Press, tahun 1934. Karya ini merupakan buah pemikiran filsafat terbesarnya yang dapat disebut sebagai akumulasi dari hampir semua pemikiran Iqbal. Karya yang lebih bernuansa skolastik ini telah diterjemahkan oleh Ali Audah dan kawan kawan di Jakarta oleh penerbit Tintamas pada tahun 1982, yang diberi judul Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam yang pada tahun 2002 kemudian disunting oleh Muhidin M. Dahlan melalui penerbit Jalasutra Jogjakarta.
c. Javid Nama, Lahore 1932. Dialihbahasakan oleh M. Sadikin (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) dengan judul Javid Nama (Kitab Keabadian)
d. Islam and Ahmadanism; repley to Questions Raised by Pandit Jawaharlal Nehru, Lahore, January 22, 1936. Dialihbahasakan oleh Machmun Husein (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) dengan judul Islam dan Ahmadiyah
Untuk mendukung hasil penelitian yang optimal, selain data primer penulis juga menggunakan data skunder, yakni berbagai tulisan baik buku maupun artikel yang terkait dengan sejarah kehidupan, pemikiran dan perjuangan Iqbal, atau beberapa buku yang terkait dengan pembahasan penulis tentang kesadaran profetik dan kesadaran mistik.
2. Metode Pengolahan Data
Agar keseluruhan data tersebut, baik data primer maupun data skunder dapat dipaparkan dengan baik, penulis menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut :
a. Metode Diskripsi
Yaitu uraian yang dihadirkan peneliti dengan cara teratur menganai keseluruhan konsepsi pemikiran seorang tokoh. Dengan menggunakan metode ini diusahakan dapat menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Muhammad Iqbal terutama tentang kesadaran profetik dan mistik.

b. Metode Analisis
Dalam filsafat, analisa berarti perincian istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan ke dalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan pemeriksaan atas makna yang dikandungnya. Dengan metode ini penulis akan mencoba secara maksimal melakukan pemeriksaan secara konseptual atas makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang terdapat dalam pemikiran Muhammad Iqbal, sehingga dapat memperoleh substansi makna yang dimaksud dalam konsepsi pemikiran tersebut.

c. Metode Intepretasi
Adalah menyelami karya seorang tokoh untuk memperoleh arti dan nuansa yang dimaksud oleh tokoh tersebut dengan cara yang khas. Melalui metode ini, karya-karya Muhammad Iqbal akan diselami untuk mendapatkan arti dan nuansanya, kemudian diangkat menjadi satu konsepsi pemikiran Iqbal tentang kesadaran profetik dan mistik. Bahaya paling besar sebuah interpretasi adalah kemungkinan terjadinya salah interpretasi atau salah baca. Namun kemungkinan ini akan coba diminimalisir dengan menilik sebanyak mungkin data dan informasi menyangkut pemikiran filosofis yang sekaligus penyair ini.

F. Sistematika Penulisan
Pembahasan yang runtut dan sistemasis merupakan syarat bagi sebuah karya tulis agar mudah dipahami. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I, sebagai bab pendahuluan berisi latar belakang masalah mengapa penulis memilih judul ini. Yang kemudian secara runtut dilanjutkan dengan rumusan masalah, kegunaan tulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang sosok pemikir sekaligus penyair ini, dalam bab II penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana hidup dan pemikiran serta karya-karya Muhammad Iqbal. Dengan pemaparan ini penulis bermaksud memberikan gambaran yang lebih jelas tentang sosok Muhammad Iqbal. Dalam bab II, penulis juga memberikan pemaparan singkat tentang corak pemikiran Iqbal yang menurut penulis termasuk penganut eksistensialisme, namun bercorak khas transendental.
Bab III, akan membahas tentang kesadaran profetik dan kesadaran mistik. Untuk lebih memahami tentang kesadaran mistik dan kesadaran profetik, dalam bab ini diketengahkan beberapa pemikiran filosof-filosof Islam tentang profetik (filsafat kenabian) dan mistik (tasawuf) secara umum, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang makna kesadaran menurut Muhammad Iqbal. Selanjutnya untuk melakukan pemaparan lebih jauh tentang kesadaran profetik dan kesadaran mistik, dalam bab ini juga akan diuraikan bagaimana konsepsi keduanya menurut Muhammad Iqbal. Sementara filsafaf Ego (Khudī) sebagai ciri khas filsafat Iqbal nantinya akan menjadi titik pijak pembahasan selanjutnya.
Pada bab VI, sebagai kelanjutan bab sebelumnya penulis mencoba memulai kajian lebih mendalam (terfokus), tentang filsafat Ego menurut Iqbal, lalu dilanjutkan dengan analisis yang menyangkut relasi ego dalam kesadaran profetik dan mistik, yakni bagaimana ego dalam kesadaran profetik, serta bagaimana pula ego dalam kesadaran mistik. Bab ini juga akan sedikit menyinggung bagaimana hubungan antara pribadi/individu dan masyarakat, hal ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit gambaran tentang posisi pribadi yang ideal—sesuai dengan filsafat Ego tersebut—dalam masyarakat.
Sebagai bab penutup, pada bab V, penulis akan memberikan kesimpulan dari seluruh isi penelitian, sekaligus sedapat mungkin memberikan jawaban atas rumusan masalah yang ada. Bab ini juga berisi saran-saran dan masukan untuk penelitian lebih lanjut.

Tidak ada komentar: