Rabu, 06 April 2011

THE EDGE OF TOMORROW

THE EDGE OF TOMORROW
(Kisah Perjuangan Seorang Dokter di Perbatasan Laos)

Oleh : Thomas A. Dooley

Copyright 1958 by Thomas A. Dooley, used by Permission of the Publishers, FARRAR, STRAUS AND CUDAHY, Inc.

Diterjemahkan pertama kali oleh Kistari, Penerbit Bhratara, Jakarta,1961

Penyunting :Khilmi Zuhroni




KATA PENGANTAR

Kisah nyata tentang enam orang pemuda Amerika ini terjadi di Laos, suatu negara jauh di benua lain yang keadaannya serba aneh, dengan lambaian bendera serta bunyi-bunyi genta yang gemerincing.
Buku ini bukannya suatu naskah tentang tokoh-tokoh ataupun peristiwa-peristiwa,tiada pula dikandung maksud untuk dijadikan cerita sejarah; kisah ini bukan suatu hasil pengamatan kejadian-kejadian dan bukan pula cerita khayal, melainkan suatu kisah nyata tentang enam orang pemuda Amerika yang dengan sukarela menjalin persahabatan dengan bangsa Laos, demikian pula dengan bangsa-bangsa lain di dunia seperti yang akan dikisahkan dalam buku ini.
Sejak aku masuk sekolah kedokteran, maka kerja Dr. Albert Schweitzer selalu menjadi pendorong bagi kehidupanku. Hatiku bertambah puas oleh karena aku dapat berhubungan surat dengan beliau. Tetapi saat-saat yang benar-benar mengharukan ialah ketika aku mengunjungi beliau sendiri. Tidalah mudah menggambarkan beliau ini. Pada wajahnya nampak perpaduan antara kehalusan perasaan dan keuletan. Selain itu sikapnya sangat ramah dan mengesankan hati. Sungguh kagum aku melihat beliau yang sudah ubanan itu.
Buah pikiran Dr. Schweitzer yang terpenting ialah terbentuknya ikatan anggota relawan pengikut-pengikut yang pernah mengalami penderitaan. Kemanapun kami pergi, aku dan teman-teman selalu menjumpai anggota relawan-relawan ini. Menurut pendapat Dr. Schweitzer, yang menjadi anggota relawan-relawan ini adalah mereka-mereka yang berdasarkan pengalaman dapat merasakan pula perjuangan sakit dan kecemasan. Mereka ini tergabung dalam ikatan rahasia. Barangsiapa sudah sembuh dari sauatu penyakit, jangan hendaknya ia mengira bahwa ia bebas menempuh hidup dan melupakan penyakitnya. Ia harus insyaf dan berkewajiban pula menolong mereka yang sedang berjuang melawan maut dan kecemasan. Ilmu tentang penyembuhan itu harus pula disebarkan pada orang lain.
Tergabung dalam relawan ini tidak hanya mereka yang pernah jatuh sakit, tetapi juga mereka yang berhubungan dengan para penderita yaitu para dokter. Di atas bahu merekalah letak beban tanggung jawab kemanusiaan, yaitu memberi bantuan pengobatan terhadap orang-orang yang tidak mampu di dunia ini. Dr. Schweitzer percaya atas nama Tuhan dan Kemanusiaan, bahwa mereka yang berkecimpung dalam pengobatan dan urusan-urusan orang sakit akan bersedia menjelajahi pelosok-pelosok dunia dan memberi pertolongan.
Karena pekerjaanku termasuk dalam bidang yang sama, maka aku berhasil menjadi anggota relawan itu. Selain diriku, kudapati pula beratus-ratus peminat yang lain. Di seluruh dunia telah banyak yang mendengar rombongan kesehatan kami di Laos.
Ribuan surat telah kami terima, banyak pula yang memberi sumbangan dan sementara orang menyampaikan saran-saran yang berguna. Ada yang dengan suka rela datang membantu kami bahkan seseorang telah mengirimkan bagan tentang Rencana Perberdayaan Masyarakat yang pernah dicobanya 40 tahun yang lalu di pedalaman Afrika Selatan. Mereka tersebut termasuk anggota-anggota ikatan relawan meskipun tidak disadarinya.
Banyaknya sumbangan yang ku terimamenyebabkan aku terharu tetapi kadang-kadang pula aku merasa geli sebab disamping barang-barang sumbangan yang berguna terdapat pula bingkisan-bingkisan yang tiada bernilai. Namun sebagian besar dari kiriman itu sangat tidak terduga dan sangat diperlukan. Hanya ucapan terima kasih sajalah yang dapat kusampaikan atas semua perhatian ini. Bantuan yang mengharukan ialah yang mengalir dari sekolah-sekolah. Kepada belasan sekolah yang telah menyurati dan menawarkan pertolongan, kami sampaikan kepada masing-masing sekolah sebuah proyek yang akan menjadi garapan kami selanjutnya. Franklin School Three di Passaic, New Jersey menyumbang beratus-ratus sabun dari hasil yang dikumpulkan, sedangkan Miss Mary Kennedy, gurunya, meminta agar setiap murid sekolah menulis surat kepadaku. Surat-surat yang kuterima berjumlah kurang lebih 250 pucuk sebulannya, tetapi yang benar-benar menarik adalah surat-surat dari anak-anak Sekolah Rakyat. Seorang anak laki-laki menyurati, bahwa ia tinggal bersama-sama dengan ayahnya di sebuah hotel di New York. Di situ dia pernah berhasil membujuk tukang cuci agar sebuah peti penuh berisi sabun diberikan kepadanya untuk kemudian diteruskan kepada setiap anak yang datang berobat. Memang sabun itu sangat diperlukan di daerah pegunungan Laos, karena di situ sabun tiada dikenal dan tidak ada pula penggantinya.
Freemont Junior High di Anaheim juga mengirimkan sabun kira-kira 500 pon beratnya dan kini semua batang telah habis terpakai. Banyak dokter-dokter dan juru rawat-juru rawat menyampaikan contoh-contoh obat-obatan antibiotik lumayan adanya, tetapi hanya dipergunakan untuk penyakit-penyakit yang aneh.
Seorang juru rawat lain, yaitu Clara Mc Carthy dari St. Barbara mengirim peti obat-obatan hingga lebih dari 30 buah berisikan contoh obat-obatan mulai dari obat muntah-muntah sampai obat pendarahan hidung. Banyaknya penderma-penderma yang menaruh perhatian dalam tugasku semakin membesarkan hatiku.
Beberapa hari setelah Ion mengalami pembedahan (lihat bab VI) kuterima surat dari seorang padri bernama K.I. Rewick dari Punahoe School di Honolulu. Murid-murid Sekolah Menengah dari yayasan tersebut telah menmgumpulkan sejumlah uang dan beberapa ratus dolar diantaranya dikirim padaku. Jumlah ini justeru kami perlukan dan kami tetapkan sebagai ongkos pengobatan serta kain pembalut Ion, olek karena itu kami balas surat mereka dengan mengatakan bahwa Ion adalah pasien mereka. Kemajuan Ion sering kami laporkan dengan mengirimkan gambar-bamgarnya agar Punahoe School dapat mengikuti pula perkembangannya. Walaupun Ion tidak dapat mengucapkan nama sekolah tersebut, tetapi ia tahu dengan pasti bahwa beratus-ratus pemuda-pemudi Amerika benar-benar memperhatikan nasibnya.
Seorang kenalan di kapal yang bernama Larry Aggens sering pergi ke Chicago untuk keperluan dinas. Di sana ia rajin mengadakan ceramah untuk mengumpulkan uang guna kepentingan kami, kecuali saja yaitu ketika terpaksa ia harus dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit mata. Segerasetelah ia keluar, maka dengan matanya yang masih dibalut dan mengenakan baju Hathaway ia kembali menunaikan tugasnya sebagai kepala pengumpul derma untuk rombongan kesehatan Dooley.
Seorang dokter dari Inggris mengirimkan buku-buku kepadakami tentang soal-soal pengobatan di daerah panas. Beberapa orang dokter Amerika juga mengirmkan buku-buku pelajaran pengobatan, sedangkan Mr. Brayton Lewisdari Holliday Book Shop di New York selalu memberitahukan padarombongan Dooley tentang buku-buku yang baru terbit. Setiap bulan kami menerima sebuah dua buah dan bersamaan dengan kiriman “The Saturday Review” dari Helpens kami selalu dapat mengikuti kejadian-kejadian di dunia. Pembantu sekretaris pertahanan, E. Perkins Mc Guire mengirimkan beberapa ratus dolar yang khusus dimaksudkan untuk pembelian obat batuk.
Pada bulan September 1956 ketika rombongan kesehatan itu melalui Hawai dalam perjalanannya ke Laos,mereka menginap pada salah satu hotel mewah di kepulauan Waikiki. Di sana mereka disambut oleh tiga orang wanita yang telah membaca tentang kedatangannya. Wanita-wanita itu bermaksud hendak menjamu. Betapa senangnya rombongankami karena sebelum minta diri, salah seorang penjamu itu menawarkan untuk mengirimkan surat kabarnya ke Laos. Anggota-anggota rombongan kamipun tersenyum sambil menyodorkan alamat. Sejak itu hingga pada saat kami meninggalkan Laos, Nona Spring rajin mengirimkan harian “Honolulu Star Buletin” . Koran-koran itu selalu datang dalam berkas terdiri dari 8 sampai 10 helai sekaligus. Hal ini sangat menggembirakan, karena kami selalu dapat mengikuti berita-beritanya. Terima kasih ibu Nona Spring...
Beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan kapal terbang, aku pernah berjumpa dengan seseorang bernama Bill C. White. Ia bertolak ke Mexico untuk berlibur sehabis belajar giat di sebuah perguruan tinggi. Kami berbicara tentang misi yang kurencanakan,rupanya ia sangat tertarik. Beberapa bulan kemudian setibaku di Laos aku menerima sepucuk surat dari dia berikut bingkisan berisi coklat. Aku gembira sekali menerima surat-suratnya lebih-lebih atas kiriman coklatnya yang lezat. Kubalas suratnya dengan ucapan terima kasih dan ia tetap mengirimkan bingkisan itu.
Agaknya kebaikan dan rasa solidaritas yang sebenarnya dikalangan bangsa Amerika lebih nampak diluar negeridari pada di tanah airnya sendiri. Hal ini mendorong kegiatan kami, sebab dengan itu kami banyak mendapatkan kemudahan terutama masalah ongkos pengobatan. Ketika kami terangkan dari mana asalnya gula-gula,pakaian-pakaian bayi, pensil dan kemeja pendekyang kami bagi-bagikan kepada mereka, timbullah pengertian yang baik terhadap Amerika.
Pada suatu hari kami dapati sebuah bungkusan dalam karung surat-surat, setelah dibuka maka keluarlah permainan anak-anak (berupa binatang dibuat dari kain berisikan kapas), buku-buku gambar, kertas berwarna, pita-pita beraneka warna, peniti dan segala macam benda-benda yang biasa terdapat pada warung kecil. Disamping itu kami dapati pula sebuah surat yang mengatakan bahwa bingkisan itu berasal dari Taman Kanak-kanak Bagian Pagi dan Sore pada Mc Kinley School, Harrisburg, Illinois. Setelah kami jawab suratnya dengan ucapan terima kasih, maka Miss Mildred Walden, gurunya, menerangkan bahwa ia telah mendengar tentang pekerjaan kami. Ia menganggapbahwaTaman Kanak-kanak pun sudah dapat mulai dididik untuk mempunyai tanggung jawab terhadap negara lain,dan kewajiban itu sudah selayaknya dimiliki sejak kecil, karena mereka lahir sebagai bangsa yang merdeka. Aku kagum pada wanita ini atas usahanya meresapkan rasa tanggungjawab dan kepedulian terhadap penderitaan bangsa lain kepada anak-anak. Untuk itu kami tak perlu menyangsikan mutu pendidikan yang diberikan oleh guru semacam dia.
Pada suatu hari aku menerima uang kertas dollar di dalam surat yang berasal dari seorang gadis buta bernama Aurora Lee, yang berdiam di Laos. Ia membaca bukuku “ Lepaskan Kami dari Kejahatan” dari “The Reader Digest” dalam huruf Braille. Ia ingin pula membantu. Setelah menemukan selembar uang dollar Amerika maka laludikirimkannya kepada kami. Nyonya Iva dari Timberville,Virginia, melihat gambar kami tercantum pada sebuah surat kabar.menurut pendapatnya, kami nampakkurang pantas. Oleh karena itu ia mengirimkan dua potong baju dan celana untuk kami masing-masing. Akupun menduga bahwa kami memang kelihatan kurang pantas dalam pakaian kami yang sudah usang.
Penderma-penderma dari Perkumpulan Rotary di Hongkong mengirimkan uang berupa cek, demikian pula penderma-penderma dari Perkumpulan Rotary di Honolulu. Persatuan penduduk Hawai mengirimkan kepada kami kain pembalut seberat 475 pon. Yang mengangkut ke Saigon adalah laksamana Stump untuk kemudian diteruskan kepada kami. Dalam ukuran kubik maka muatan-muatan ini kira-kira sama dengan muatan mobil. Tindakan ini menunjukkan bahwa masyarakat Amerika dapa mengusahakan sesuatu hingga melebihi batas-batas diluar kepentingannya dengan perbuatan-perbuatan yang mulia serta menarik hati.
Sebuah perkumpulan Pemuda Katolik bernama “ The Basilians” di Los Angeles mengabarkan, bahwa mereka akan mengirimkan sesuatu bagi kami berempat. Aku menerangkan bahwa kami akan sangat berterima kasih jika mereka sudi mengirimkan kue Amerika dan sirup buah. Dan sejak itu, selama 16 bulan, setiap minggu kami menerima kiriman seperti kue beserta sirup tadi.
Aku memasuki Notre Dame University pada kira-kira pertengahan tahun 1940. disitu aku mempunyai kenalan baik yang bekerja pada staf, namanya Erma Koyna. Ketika akun di Vietman ia mengirimkan barang-barang ketempat pengungsianku tetapi sewaktu berada di Laos, ada kira-kira sebulan aku tidak menerima surat darinya. Kalau ia tidak memberikan barang-barang itu sendiri maka ia membujuk pedagang-pedagang yang datang ke Universitas agar mereka sudi mengirimkan bingkisan gula-gula, sabun dan lain-lain kepada kami.
Aku berhasil memperpanjang waktu missi hingga 6 bulan diluar rencana oleh karena uangku masih cukup berkat bntuan teman-teman. Berapa ratus jam yang telah digunakan untuk mendoakan Dooley dan rombongannya di dunia ini? Doa inilah yang selalu menjadi cambuk semangat bagi kami.
Aku tahu, bahwa doa ibukulah yang berhasil karena cintanya adalah yang terdekat denganTuhan. Guru-guru, teman-teman, kaum kerabat dan lain-lain selalu menjebut kami dalam doa. Terkenang aku akan biarawati-biarawati Irlandia dari St. John’s Hospital di St. Louis. Aku yakin bahwa di bawah kaki patung Bunda Maria mereka akan mengucapkan: “ Lindungilah Dr. Tom...yang peramah itu.” Biarawati-biarawati Belanda di Clayton Road dan Desloge Hospital juga mengabarkan bahwa merekapun mengirimkan doa untukku. Sekali peristiwa dengan bercanda kuminta agar mereka mendoakan yang jelek-jelek saja untukku, tetepi mereka jawab mereka mendoakan yang baik-baik. Bertahun-tahun aku bekerja dengan biarawati-biarwati tetapi tidak pernah aku dapat menyingkap tabir kehidupan mereka yang penuh rahasia itu. Yang kuingat hanyalah kebaikan hati, sikap yang manis dan nasihat mereka yang halus. Kini ku sadari kekuatan doa mereka.
Dari seorang padri yang baru saja dibebaskan dari perlakuan kejam dipenjara R.R.T dimana tangannya diikat antara dua batu, kuterima sepucuk surat. Dalam itu disebutkan bahwa setiap hari ia mengucapkan memorare doa yang selalu diiringi dengan permohonana berkah Tuhan atas diri kami.
Seorang gadis cilik Yahudi di NewJersey mengatakan, bahwa ia sering mendoakan untukku. Demikian pula seorang padri di Cincinnati taklupa menyebut nama kami dalam doanya sehari-hari. Berapa pelita yang telah dinyalakan di gereja-gereja seluruh dunia untuk doa keselamatan kami ? Dengan pelita-pelita tersebut mereka ucapkan: ” Tuhan, curahkan segala rahmat dan berkah-Mu atas Dooley beserta rombongannya agar tercapai cita-cita mereka...” Kami sangat berterima kasih kepada mereka dan kepada-Nya.
Pada halama-halaman ini aku ingin mengatakan penghargaanku pribadi kepada masing-masing orang dan setiap perkempulan yang telah memberikan bentuan-bantuannya. Sayang sekali tempat tiada mengizinkan untuk menyebut semuanya, hingga aku hanya sempat menyebut beberaoa contoh saja dari simbangan berlimpah-limpah baikyang berupa doa maupun benda. Kami sungguh berutang budi untuk ini semua. Sebaliknya akan kuakhiri halaman ini dengan doa yang mengobarkan semangatku di Laos yang kiranya dapat dijadikan epigraf buku ini:
Give us, Thy worthy childern
The blessings of wisdom and speech
And the hands and hearts of healing
And the lips and tongues that teach...

THOMAS A. DOOLEY, M.D




KUPENUHI JANJIKU
Malam berlalu dengan cepat. Sebuah kapal terbang mewah meluncur jauh di atas lautan pasifik menuju ke barat. Para penumpang meletakkan buku dan tasnya masing-masing kemudian satu demi satu lampupun padamlah. Deru mesin yang menjemukan seakan-akan membuai pelancong-pelancong yang akan menuju ke Honolulu serta pedagang-pedagang yang bertujuan keTokio dan Manila ke alam impian.
Akulah satu-satunya penumpang yang masing terjaga, karena pikiranku penuh dengan kenangan-kenangan yang lebih menguasai kantukku. Sejenak ku pejamkan mata; maka terbayanglah kembali kota Haipong, sebuah tempat pengungsian yang menyedihkan dalam musim semi 1955. Angkatan Laut Amerika menyebut kami “Operasi Cokroach”. Pada operasi itu terdapat seorang dokter serta empat orang juru rawat yang baru saja memperoleh pendidikan beberapa bulan pada sebuah rumah sakit, selebihnya adalah setengah juta bangsa Asia. Mereka melarikan diri dengan badan kotor, sakit, bahkan ada yang cacat.
Itulah sekilas gambaran tentang Vietnam Utara yang lebih dikenal dengan sindiran “Jalan kearah kemerdekaan” dan sejakitu pulalah Dooley mulai tergerak hatinya.
Kejadian ini sudah berulang-ulang ku ceritakan. Tidak hanya pada buku “Lepaskanlah kami dari kejahatan” tetapi juga pada setiap waktu dan tempat dimana saja aku berjumpa dengan orang Amerika yang mau mendengarkannya. Sukurlah cerita ini tiada berlalu dengan sia-sia saja, sebab apa yang kami lakukan di Haipong yang hampir musnah itu tiada seberapa berarti jika dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang kami peroleh disana.
Kami telah menyaksikan sendiri betapa perawatan yang dilakukan dengan penuh kasih sayang oleh anak-anak muda yang masih canggung itu dapat merubah sikap rakyat yang semula takut-takut dan benci, menjadi persahabatan dan saling pengertian. Betapa pengaruh bantuan pengobatan itu dapat menyentuh hati nurani suatu bangsa. Kami saksikan pula betapa cita-cita persahabatan yang menjelma menjadi kenyataan itu dapat dipahami oleh masyarakat sederhana. Seakan-akan pengalaman itu memberikan wahyu kepadaku. Di samping itu aku bangga, bahwa selaku seorang dokter Amerika aku mendapat kesempatan menyaksikan besarnya kemungkinan-kemungkinan pengaruh bantuan pengobatan yang diberikan secara sederhana dan sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang kami anut. Itulah barangkali yang menyebabkan perancang-perancang bantuan asing dengan proyek-proyeknya yang menelan jutaan doalar, sulit sekali mengartikannya.
Demikian tekun aku mendoa sehingga kerabatku menjadi gelisah karenanya. “Dooley...” Ujar mereka “Sudah saatnya kau hentikan petualanganmu ! Kapan kau menetap ? “ Ibuku juga memperingatkan aku akan segala sesuatu yang pernah ku inginkan dan yang kini mungkin sudah tercapai, antara lain; mempunyai keluarga, isteri, anak dan siapa tahu barangkali juga memelihara beberapa ekor kuda untuk berburu. Mentorku di sekolah Kedokteran dulu mengatakan, bahwa aku lebih baik melanjutkan pelajaranku jika aku ingin menjadi seorang ahli bedah orthopaedi yang cakap. Bagaimana aku dapat membuktikan mereka bahwa kejadian-kejadian itu tidak akan pernah mengalami peristiwa yang sama?
Maka teringatlah aku akan kalimat-kalimat dalam syair Robert Frost yang selalu mendengung di telingaku sewaktu aku dalamke bingungan:
“The woods are lovely, dark and deep
But I have promises to keep
And miles to go before I sleep.”
“ Sungguh indah hutan belukar nan lebat dan gelap
Tapi ada janji-janji yang harus kupenuhi
Walau ku terpaksa berkelana jauh.”

Aku tahu janji-janji yang akan kupenuhi. Aku tahu pula bahwa untuk memenuhi janji-janji tersebut aku harus merantau—kembali ke Asia Tenggara—menghadapi kesulitan-kesaulitan yang pedih, yang menentukan kejayaan atau keruntuhan masa depan.
Pada suatu petang di bulan Februari 1956, sesudah aku baru saja kembali dari Asia, aku pergi untuk menghadiri suatu jamuan makan pada kedutaan Vietnam di Wasington D.C. Malam itu seakan-akan mendapat pertanda, bahwa semua harapan untuk kembali lagi ke Indo China dengan membawa utusan kesehatan sendiri akan tergantung pada pembicaraan-pembicaraan yang diadakan pada jamuan makan tersebut.
Aku tahu dan menyesal sekali, bahwa aku tidak dapat kembali ke Vietnam. Daerah utara kini tertutup oleh tirai bambu sedangkan di bagian selatan tenagaku tiada diperlukan, sebab di situ sudah terdapat utusan kesehatan dari Operasi Persaudaraan Filipina (Filipinos Operation Brotherhood) yang melancarkan bantuannya dengan memuaskan. Kemana lagi aku dapat mengerjakan dan menggunakan pengetahuanku tentang Indo China? Di Kamboja atau di Laos-kah ? Mungkinkah aku akan diterima dengan senang hati di sana, mengingat situasi politik yang sedang genting itu ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka temanku, Duta Besar Tran Van Chuong dari Vietnam telah mengadakan jamuan makan untukku, selain itu juga diundang sejumlah orang-orang Kamboja serta diplomat-diplomat Laos. Sampai jauh malam aku mempercakapkan tentang sifat utusan kesehatan yang kurencanakan—kecil, dengan ongkos sendiri (kebanyakan dari sakuku sendiri), tanpa bantuan dari pemerintah manapun atau dukungan gereja serta kewajiban lain. Utusan itu yang terdiri dari aku sendiri dan beberapa pemuda Amerika yang pernah menyumbangkan tenaganya bersama-sama denganku di Vietnam Utara.
Kami akan bekerja selaku orang Amerika biasa di kalangan rakyat jelata, di tempat yang diperlukan, di sawah dan di desa-desa, di hutan-hutan dan bagian pegunungan dari negara itu.
Apabila tugas kami ini berhasil, maka mungkin akan menjadi pendorong bagi bangsa Amerika lainnya baik dokter-dokter maupun orang-orang biasa untuk mengikuti jejak kami yaitu berjuang atas dasar kerjasama internasional antara bangsa-bangsa.
Orang-orang kamboja mendengarkan dengan hikmat tanpa memberikan pernyataan sesuatu. Tetapi duta besar Laos J.M. Ourat Souvannavong kulihat mengikuti pembicaraannku dengan penuh perhatian.
Ia bertanya: “Dr. Dooley, tuan baru saja bebas dari tugas Angkatan Laut. Kini lapangan kerja terbuka bagi tuan. Mengapa langkah ini yang diambil, kalau sudah jelas diketahui bahwa tuan akan banyak berkorban ? Hasil apa yang akan tuan capai kelak?
Sekali lagi kucoba memaparkan keyakinanku yang dalam, yaitu bahwa bantuan pengobatan yang dilancarkan atas dasar kerjasama antar bangsa-bangsa akan menghasilkan tali persahabatan yang kekal antara Timur dan Barat. Kalaulah ini benar, maka kami, dokter-dokter Amerika berkewajiban untuk melaksanakannya. Karena aku telah mengabdi di Asia Tenggara dan meyaksikan sendiri akan kebutuhan itu, maka panggilan ini tak dapat kuelakkan. Lain dari pada itu, aku masih muda, bebas tiada ikatan yang akan menghalangi maksudku untuk pergi ke-tempat-tempat yang diperlukan.
Tiba-tiba kuingat akan jawaban Norman Baker seorang nahkoda kasar yang pernah melontarkan kata-kata terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas. Aku berusaha menerjemahkan perkataan Baker ke dalam bahasa Perancis. Kuterangkan pula bagaimana Baker mengumpulkan kata-kata untuk menandaskan alasan-alasannya. Demikianlah jawabannya: “Oh... tuan, kami ingin mengerjakan sesuatu untuk bangsa lain yang keadaannya kurang menyenangkan.” Mendengar ini orang-orang Kamboja tersenyum sambil mengangkat keningnya. Perkataan Baker memang tepat. Tetapi duta besar Souvannavong berseri-seri serta kagum dan dari gelengan kepalanya kudapat menduga gagasannya: Oh, orang-orang Amerika yang tak dapat dipercaya !
“Dr. Dooley...”, katanya. “Negara kami akan mendapat kehormatan besar karena dapat menyambut misi rombongan tuan. Jika berkenan, tuan kami persilahkan datang dikedutaan pagi ini.” Keesokan harinya duta besar Laos menerimaaku di ruang kerjanya. Di situ diterangkan dengan singkat tentang keadaan mesyarakat serta politik kerajaan Laos. Ia mengatakan betapa perlunya utusan kesehatan seperti rombongan kami untuk dikirim kesana. Laos hanya memiliki seorang dokter yang harus melayani seluruh penduduk yang berjumlah kira-kira dua juta. Dokter ini mendapat pendidikan secara Barat. Melihat keherananku dia hanya tersenyum sedih. “Kami juga mempunyai beberapa juru rawat yang disebut Medecins Indochinois”, Ia melanjutkan pembicaraannya, “Mereka adalah tamatan Lycee yang mendpat sekadar didikan pengobatan. Kebanyakan penduduk yang sakit lari ke tukang-tukang sihir.” Lycee adalah sekolah yang kira-kira setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
Duta Besar itu kemudian menerangkan, bahwa satu-satunya dokter yang terdapat di Laos adalah kemenakannya sendiri, yaitu Dr. Oudom Souvannavong yang juga menjabat sebagai Menteri Kesehatan. “Kami yakin, dia akan menyambut tuan dengan gembira dan akan membantu tuan seperlunya”, katanya. “Kami memperingatkan kepada tuan, bahwa tuan memerlukan bantuan serta petunjuk-petunjuk berhubung dengan kesulitan-kesulitan, serta bahaya-bahaya yang mungkin terdapat di negara kami.”
Kami mendapat sebuah peta dinding yang besar, maka terbentanglah di mukaku kerajaan Laos yang membujur ditengah-tengah semenanjung Siam. Gambar itu mengingatkan aku akan telunjuk jari panjang dengan tulangnya yang besar terkait oleh tangan Tiongkok Komunis sedangkan ujung jarinya seakan menjulur ke Kamboja dan Vietnam Selatan.
Duta besar Souvannavong menunjuk kearah propinsi yang terletak di sebelah barat laut perbatasan Tiongkok dan Burma. Untuk pertama kali mataku tertumbuk pada kota Nam Tha, yang seakan-akan mengejar-ngejar aku selamaini.
“Seandainya tuan pergi kesana, tuan akan menghadapi banyak kesulitan, tetapi tempat itu pulalah yang sangat minta bantuan tuan. Nam Tha adalah kota yang terpencil, penduduknya melarat. Di situ penyakit meraja-lela, sedang situasi politiknya cukup hangat dan sangat sulit untuk dipahami orang Barat.”
Kulayangkan pandanganku pada peta dan tercengang ketika kulihat bahwa Nam Tha letaknya hanya berdekatan (di sebelah barat, sekitar 500 mil) dengan kota Haiphong di Vietnam Utara yang menyedihkan itu. Kedua propinsi yang berdekatan itu merupakan pangkalan sementara dari kaum Komunis yang dipimpin oleh Pathet Lao berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh konferensi Jenewa tahun 1945, yaitu konferensi yang membegi Vietnam menjadi dua negara dan menjamin Kamboja dan Laos menjadi negara yang berstatus “netral” di Indo-China.
Kukatakan bahwa kami bersedia mencoba kesempatan ini, disamping itu aku juga berjanji akan bertindak bijaksana. Duta Besar Souvannavong mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku dengan hangat, sambil mengatakan bahwa ia menaruh kepercayaan kepadaku.
“Dahulu kala” demikian ia menambahkan, “banyak orang kulit putih datang untuk membantu kami. Tetapi mereka selalau mempunyai motif lain, yaitu; menjajah, berdagang, bahkan sampai mencampuri urusan agama. Tetapi kami yakin bahwa maksud tuan kali ini bersifat perikemanusiaan semata-mata. Itulah yang menjadikan utusan tuan sesuatu utusan yang istimewa di negeri kami”. Kemudian dengan berseri-seri ia melanjutkan, “Dan bagi beberapa orang Laos, agak sulit untuk mempercayainya”.
Untuk mengesahkan rombongan missi kami maka Angier Biddle Duke, Ketua Badan Penolong Internasional (International Rescue Committee) memasukkan kami dibawah perlindungan I.R.C yang sudah terkenal diseluruh dunia.
Kemudian aku periksa simpanan uangku di Bank yang kukumpulkan dari hasil ceramah dan karangan bukuku.
Berdasarkan pengalamanku diVietnam dahulu, sekali lagi aku menghubungi perusahaan-perusahaan farmasi serta perusahaan-perusahaan obat-obatan untuk meminta sokongan. Pengertian serta kemurahan hati mereka sungguh menakjubkan. Perusahaan Charles Pfizer menyumbang obat-obat antibiotika seharga USD 100.000 lebih. Johnson & Johnson memberi bantuan alat-alat pembalut serta alat-alat bedah. Perusahaan AS Aloe di St.Louis, Mo., memberi perkakas dan alat-alat bedah selengkapnya sedangkan petugas-petugas perseroan tersebut menyumbang uang berupa cek yang tidak sedikit jumlahnya.
Perusahaan Mead Johnson menyerahkan sejumlah besar persediaan vitamin protein sedang Mr. Johnson menyodorkan ceknya sendiri seharga USD 5.000. Walt Disney menyumbang sebuah sound proyektor beserta sejumlah film Disney untuk anak-anak Laos. Willy Company menghadiahkan sebuah jeep yang khusus dimaksudkan untuk daerah hutan belukar. Jeep itu kemudian dinamakan Agnes, sesuai dengan nama ibuku.
Di New York aku menghubungi Abercombie & Fitch dan disitu aku memesan barang-barang yang sangat diperlukan: tungku,lampu-lampu, tempat tidur, tikar, dan peralatan dalam cuaca dingin. Rekening yang harus kubayar sungguh mengejutkan, tetapi setelah penjaga toko mengetahui sifat dan tujuan missiku,dia minta diri serta menghilang kekamar wakil kepala toko. Tak lama kemudian ia keluar dengan rekening yang telah dirobek-robek.
Pada suatu hari aku berada di Wasington DC. Disitu aku menunggu giliran untuk menyampaikan pidato pada Badan Penolong Internasional mengenai peranan Vietnam merdeka di Asia dewasa ini. Seorang wanita kecil dan tangkas datang terlambat. Setelah mengambil tempat disampingku di deretan kursi terakhir ia berbisik: “Sudahkan Dr. Dooley menyampaikan pidatonya?” aku tersenyum dan berkata :” Belum, tetapi pidatonya tentu akan serem !” Ia mengangguk lalu berkata: “ Aku cari dia sampai setengah mati”. “ Mengapa ?” tanyaku. “ Aku ingin memberikan 500 pon protein kepadanya.“ Pada waktu itu aku dipanggil untuk berbicara. Tak lama kemudian kami berjumpa di serambi dan disitu baru kemudian aku ketahui bahwa dia adalah Nona Florence Rose yang peramah dan menjabat sebagai Sekretaris dari lembaga makanan untuk membantu rakyat di negeri lain (Meals for Millions Foundation). Dia benar-benar menyerahkan 500 pon berbagai jenis makanan serba guna yang secara langsung dapat menolong beratus-ratus jiwa dalam rumah sakit selama tehun-tahun berikutnya.
Angkatan Laut Amerika tidak melupakan aku. Telah disetujui bahwa mereka akan mengangkut peti obat-obatan,makanan serta alat-alat yang telah kukumpulkan hingga beberapa ton,walaupun aku kini sudah menjadi orang sipil. Barang-barang tersebut semuanya diangkut ke Vietnam Selatan, hingga sangat membantu penghematan ongkos pengeluaran.
Beberapa minggu lamanya aku menghubungi bermacam-macam jawatan Amerika di Wasington yang ada hubungannya dengan usaha-usaha di Asia. Bada Kerjasama Internasional (International Corporation Administration/ ICA) banyak membrerikan janji-janji yang jujur danikhlas, tetapi dalam kenyataannya hanya sedikit terbukti. Namun ICA di Washington banyak membantuku pada taraf rencana semula. Demikian pula cabang Kantor Penerangan Amerika yang menjanjikan sebuah tape-recorder berikut baterainya.
Selama masa ini aku berjumpa dengan Nyonya Raymond Clapper, janda wartawan perang terkenal yang meninggal di Korea. Nyonya Clapper adalah Ketua dari Yayasan CARE di Wasington. Dengan memberi aku petunjuk-petunjuk, memperkenalkan aku pada beberapa pejabat, dan dengan jadi kawan yang baik, maka Nyonya Clapper menjadi semacam bidan bagi lahirnya operasi Badan Penolong Internasional untuk Laos. Kebetulan CARE mempunyai tas penyimpan alat-alat kebidanan yang bagus, hampir serupa dengan travelling bag para penumpang kapal terbang. Nyonya Clapper-lah yang menyarankan agar kepada masing-masing lulusan kursus kebidanan yang telah kurencanakan pembukaannya, diberi tas penyimpan alat-alat tersebut yang berjumlah 50-an buah. Keberadaan tas-tas itu sungguh sangat besar manfaatnya.
Jadi soal yang rumit dari rencanaku telah dapat diatasi, kecuali dalam melengkapi anggota-anggota rombongan. Sejak dulu aku mengharapkan tenaga Norman Baker, Peter Kessey dan Denny Shepard. Orang-orang itu paling rajin dan setia dari sekian anggota-anggota yang terdaftar dalam rombongan di Vietnam Utara, tetepi pelaksanannya jauh dari pada mudah. Denny Shepard yang belum lama kawin sedang menghadapi ujian sarjana pada Universitas Oregon. Peter Kessey mengikuti sekolah farmasi di Austin, Texas. Sementara Baker juga seorang penganten baru yang masih berdinas di Angkatan Laut. Bersediakah mereka sebagai orang sipil, kembali ketempat malapetaka di daerah Asia yang pernah mereka kunjungi ?
Sukurlah Peter dan Denny menyambut penggilanku dengan tegas dan penuh semangat. Sedang kapal yang ditumpangi Baker tengah berlayar di tengah lautan. Untuk menghubungi dia, diperlukan waktu seminggu. Demikianlah maka pada suatu hari, di Washington, aku mendapat telpon dari baker di San Diego. Kerika aku membicarakan tentang operasi Laos, maka teriakannya terdengar dari pantai kepantai.
“Apa ? Kembali ke Indo China? Kau gila? Sungguh tolol, kau takkan memanggil aku keneraka dunia semacam itu. Kecuali itu,isteriku tak akan tahan diam disana. Tidak, sekali-kali tidak !”
Sejenak sunyi senyap. Kubiarkan dia melampiaskan emosinya, tapi kemudian...
“Hallo, kau masih disitu Dok ? Hai, dengarkan. Kau benar-benar tak memerlukan aku, bukan ? manfaat apa yang akan kita ambil dari jerih payah kita disana ? Dan ada satu hal yang nampaknya telah kaulupakan ! (terdengar ketawanya terkekeh-kekeh) Si Baker masih merupakan kebanggaan serta andalan Angkatan Laut Paman Sam !”
Kutandaskan, bahwa aku memerlukan tenaganya. Bahwa operasi Laos merupakan tantangan yang hebat dan bahwa aku yakin dapat mengeluarkan dia dari Angkatan Laut secepat mungkin. Kudengar dia menggerutu dan merintih. “Hai Dok, betul aku akan mencatatkan namaku. Tetapi Priscilla tentu akan menceraikan aku karena soal ini.” Bersambung…














TIBA DI LAOS
Untuk mengangkut barang-barang kami, maka kapal terbang Vietnam yang besar mengadakan tiga kali perjalanan dari Saigon ke Vientiane mengangkut empat ton peti-peti. Pada perjalanan terakhir kami ikut serta. Dengan menakutkan kapal mendarat di tempat landasan, kemudian keluarlah kami dengan badan letih-lesu karena duduk selama enam jam di atas peti muatan. Sementara orang-orang bekerja membongkar muatan, kami mengumpulkan perlengkapan kami yang terpenting untuk dimasukkan ke dalam truk kuno, lalu sesudah itu kami menuju ke kota. Jeep yang kami beri nama Agnes diluncurkan melalui Kamboja, Siam dan kesebelas utara Laos. Perjalanan itu harus ditempuh selama sepuluh hari. Ketika melalui sebuah sungai, jeep itu diseberangkan dengan sebuah sampan, akhirnya sampailah kendaraan itu di Vientiane.
Vientiane, yang sewaktu penjajahan bangsa Prancis dijadikan ibukota Laos, mempunyai jalan yang besar dengan deretan pohon-pohon jati dan akasia. Tetapi setiba kami disana, musim hujan telah merubah jalanan yang tidak beraspal itu menjadi sungai-sungai berlumpur yang penuh sesak dilalui oleh mobil-mobil asing, pedati-pedati, orang-orang yang berjalan kaki, sapi-sapi yang berkeliaran serta anjing-anjing yang mengantuk. Gejala-gejala bahwa masa penjajahan Perancir telah mendekati akhirnya, nampak dimana-mana. Kapur yang terkupas dari gedung-gedung pada berjatuhan, sedangkan di halaman gedung perwakilan terdapat kubangan-kubangan kerbau dan isteri-isteri penjaga kantor perwakilan menjemur cuciannya di sekitar tiang-tiang yang besar. Ketika kami berhenti di muka hotel Samhoun kami mengalami kecelakaan kecil. Jalan yang baru saja dibuat runtuh karena tidakkuat menahan beratnya truk, sedang roda muka dan belakang sebelah kanan mesuk ke parit.
Kami keluar, sambil memeriksa kerusakan. Sopir Laos hanya menggerakkan bahunya sambilberkata “ Bau pinh yanh”. Baru kemudian ku ketahui, bahwa ini merupakan ucapan umum di Laos untuk mengatakan: “Masa bodoh”. Dua hari sesudah kejadian itu, truk yang rusak itu masih saja berdiri di depan hotel

Tidak ada komentar: