Rabu, 28 Maret 2012

Demokrasi dan Tata Pemerintahan Daerah

Pemahaman paling pertama yang kita harus pahani dalam konteks otonomi, adalah bahwa daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Mengapa hal ini harus dijadikan landasan dasar pertama dari pembangunan daerah adalah, karena ujung tombak dari pertumbuhan ekonomi daerah adalah terfasilitasinya aspirasi-aspirasi masyarakat menjadi program-program prioritas yang dijalankan secara bersama-sama melalui pemeritahan daerah. Kedua, bahwa daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem NKRI, harus ada sinergisitas (saling terkaitan) antara prioritas program pemerintah daerah dengan RPJM-RPJP nasional. Hal ini dimakudkan untuk meningkatkan daya serap daerah terhadap dana-dana perimbangan daerah baik yang berbentuk DAK-DAU dan dana-dana selainnya. Ketiga, sebagai daerah yang sangat potensial (luas wilayah 16.496,00 Km², jumlah penduduk sejumlah 340.000, potensi pengembangan lahan kehutanan 550.000 Ha, 350.000 Ha potensi lahan pertanian, 500 Ha potensi lahan perkebunan, dll), pemerintah daerah kab. Kotim harus memiliki prioritas program yang dapat mengcover kedua kepentingan di atas sehingga secara optimal dapat dikembangkan sebagai nilai tawar daerah untuk dapat bersaing dengan daerah lain, mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, serta meningkatkan kualitas SDM-SDM yang ada daerah. Demokrasi dan Tata Pemerintahan Daerah Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa akan kuat bila dibangun di atas sistem yang kongruen, keterkaitan secara sistemik antara komponen-komponen yang berada di dalamnya, termasuk hubungan antara pusat dan daerah. Dalam konteks demokrasi, otonomi daerah harus dilihat sebagai konsep untuk membuat pembangunan daerah lebih baik, rakyatnya lebih sejahtera, dan karena itu kemudian diharapkan akan semakin memperkuat negara bangsa Indonesia itu sendiri. Untuk tetap menjaga NKRI, menghindari disintegrasi bangsa, demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya. Untuk itu dalam memperkuat pemahaman demokrasi perlu dilakukan pendidikan demokrasi yang menyentuh langsung ke masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tercapainya tujuan utama dalam demokrasi, yakni keadilan dan kesejahteraan yang merata, melalui mekanisme pemilihan Kepala Daerah, dan DRPD yang kompeten dan memiliki komitmen pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan demokrasi juga akan mendorong terciptanya asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004pasal 20, yaitu: asas kepastian hukum; asas tertib penyelenggaraan pemerintahan; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas profesionalitas; asas akuntabilitas; asas efisiensi; dan asas efektivitas. Dalam Tata pemerintahan Daerah, proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah harus dipahami dalam paket yang lengkap-komperhensif. Artinya, bukan hanya wewenang dan kekuasaan eksekutif pusat saja yang harus diserahkan pada eksekutif daerah tetapi juga seluruh sistem dan mekanisme pemerintahan yang juga meliputi system legislative dan yudikatif juga harus diperkuat di daerah-daerah. Karena itu, proses desentralisasi kekuasaan eksekutif harus segera dibarengi dengan penguatan infra struktur demokrasi di daerah. Seperti; (1) Mewadahi aspirasi politik masyarakat yang mengambil jalur independen, (2) Penguatan fungsi partai politik lokal (Local political parties); (3) Organisasi Sosial Masyarakat (ORMAS&LSM) lokal (4) pers local (Local press); (5) universitas lokal (Local universities) dan (6) polisi daerah (local police). Hanya bila keenam unsur infra struktur demokrasi di daerah ini dapat diberdayakan barulah kita dapat berharap kedaulatan rakyat benar-benar telah dikembalikan ke rakyat dan bukannya hanya sekedar pengalihannya dari eksekutif nasional ke eksekutif lokal. Berkenaan dengan perlunya keterbukaan (transparency) adalah bahwa rakyat melalui para wakilnya di DPR daerah dan juga dengan bantuan dan sokongan dari pers lokal, Ornop lokal serta universitas lokal mampu membuka ruang publik yang semakin merata diikuti oleh seluruh warga guna mencermati, memantau dan menilai kinerja dari pemerintahan daerah. Makna hakiki dari keterbukaan adalah terkuaknya kesempatan yang diatur secara kelembagaan bagi yang diperintah (the ruled) untuk menilai yang memerintah (the Ruler). Selanjutnya, berkenaan dengan pemberdayaan, (being empowered) adalah bahwa perlu dilakukan : (1) pembukaan akses bagi rakyat ke berbagai sumberdaya strategis yang ada di daerah; (2) pemberian kesempatan bagi rakyat lokal untuk turut memiliki sumberdaya strategis yang ada; dan, akhirnya (3) dibukanya kesempatan bagi rakyat local untuk turut mengontrol sumberdaya-sumberdaya strategis yang dimiliki daerah. Untuk dapat melakukan ini semua, pertama-tama perlu dilakukan identifikasi berbagai SDA yang dipunyai oleh daerah. Hal ini dapat dilakukan oleh universitas lokal dengan pengarahan dari Dewan Riset Daerah. Sesudah semua SDA teridentifikasi maka pada tahap berikutnya barulah diputuskan suatu kebijakan pengembangan SDM daerah yang relevan seiring dengan pengembangan berbagai jaringan prasarana darat, laut dan udara yang menyokong eksploitasi SDA. Secara perlahan-lahan diharapkan perangkat kelembagaan akan di/tercipta sesuai dengan dinamika pertumbuhan yang ada. didaerah.

Tidak ada komentar: