Rabu, 21 Maret 2012
Penerapan Sistem Ekonomi Islam
* Muhammad Taufik, Wartawan 'Lampung Post'
Carut-marutnya perekonomian di Indonesia seperti tidak pernah
berkesudahan. Krisis ekonomi yang makin parah ini berdampak juga pada krisis
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Secara global (mujmal) Alquran menyebutkan dengan 'iradh 'an dzikri
(berpaling dari ketentuan-Ku), sebagaimana dinyatakan dalam Surah Thoha: 124,
"Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit (sulit) dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat
dalam keadaan buta."
Sebelumnya juga Rasulullah saw. memprediksi dalam sebuah hadis riwayat
Imam Thabrani dari Ibnu Abbas, akan terjadinya berbagai krisis dalam kehidupan
umat manusia yang sangat beraneka ragam apabila terdapat berbagai hal yang
dilakukan sebelumnya, yaitu:
Pertama, krisis kepribadian, yang ditandai dengan mudahnya orang
bersumpah dan berjanji dan sangat mudah pula mengingkarinya. Krisis ini
mengakibatkan dikuasainya kehidupan oleh orang-orang yang memusuhi Allah dan
rasul-Nya serta memusuhi orang-orang yang beriman. Mereka juga berusaha
menguasai kekayaan dan sumber alam serta mata pencarian masyarakat tersebut.
Kedua, krisis keimanan, yang ditandai dengan keengganan ber-tahkim kepada
ketentuan Allah dan rasul-Nya, keengganan menjadikan Alquran dan sunah Rasul
sebagai rujukan dalam penataan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapinya.
Krisis ini mengakibatkan merajalelanya kefakiran dan kemiskinan, membubungnya
harga-harga, dan hukum yang dijadikan permainan semata oleh orang-orang yang
punya pengaruh besar dan berduit.
Ketiga, krisis moral, yang tercermin dengan merajalelanya tempat-tempat
prostitusi, praktek aborsi yang mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit
kelamin yang mematikan.
Keempat, gaya hidup materialistis, yang tercermin pada gejala
berlomba-lombanya mencari dan menumpuk harta kekayaan tanpa memperhatikan cara
mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara mendapatkannya. Gaya hidup ini
ditandai keengganan berzakat, berinfak ataupun bersedekah hingga hilang rasa
ukhuwah dan solidaritas kemanusiaan yang menonjol semangat individualistik dan
kebatilan. Krisis dalam gaya hidup ini akan mengundang azab Allah swt. dalam
bentuk musim kemarau yang panjang, kerusuhan di mana-mana, dan bencana alam
lainnya.
Karakter Ekonomi Islam
Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu
ekonomi yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai pada Thomas Aquinas,
kegiatan ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba. Tetapi,
setelah itu kegiatan ekonomi lebih banyak didominasi logika-logika manusia yang
saling bertentangan, yang mengakibatkan makin melebarnya jurang antara si kaya
dan miskin (akibat doktrin Adam Smith yang terkenal dengan istilah the
invisible hand yang membiarkan berlakunya survival of the fittest) atau doktrin
trade of A.W. Philips yang mengakibatkan pengangguran dan inflasi dan
sebagainya.
Demikian pula sistem ekonomi sosialis komunis yang didominasi perencanaan
dan penguasaan alat-alat produksi secara terpusat oleh negara karena
mengabaikan hak-hak individual ternyata juga tidak membawa kesejahteraan kepada
umat manusia.
Sebagai ajaran yang syaamil (mencakup) dan kaamil (sempurna) serta
mutakaamil (saling melengkapi dan terkait yang berlandaskan pada wahyu Allah
swt., tentu ajaran Islam mengandung pula ajaran yang berkaitan praktek-praktek
ekonomi yang akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan hidup umat manusia
(Q.S. 21: 107).
Dalam terminologi syariat, ekonomi termasuk kelompok muamalah, dan
muamalah termasuk pada bagian syariat yang terkait erat dengan akidah dan
akhlak (Q.S. 14: 24--26). Atas dasar tersebut, kekhususan-kekhususan ekonomi
Islam tereletak pada karakteristik dan wataknya yang berbeda dengan
individualisme dan kapitalisme serta berbeda pula dengan sosialisme-komunisme.
Secara umum, menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Peran Nilai dan Moral
dalam Perekonomian Islam, karakteristis ekonomi Islam itu ada empat; ilahiah,
akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan.
Ilahiah, ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah karena titik berangkatnya
dari Allah swt., tujuannya mencari rida Allah, dan cara-caranya juga tidak
bertentangan dengan syariat-Nya.
Seorang muslim melakukan kegiatan produksi, di samping memenuhi hajat
hidupnya, keluarga, dan masyarakatnya, juga karena melaksanakan perintah Allah
swt. (Q.S. 67: 15). Ketika seorang muslim mengonsumsi dan memakan dari
sebaik-baiknya rezeki dan yang halal, ia merasa sedang melaksanakan perintah
Allah (Q.S. 2: 168). Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan kesahajaan,
sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah (Q.S. 7: 31--32).
Ketika berusaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak
akan melakukan riba dan menimbun barang, tidak akan berbuat lalim, tidak akan
menipu, mencuri, korupsi, dan kolusi dan tidak pula melakukan praktek
suap-menyuap (Q.S. 2: 188). Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan
menahannya karena kikir, tidak membelanjakan dengan cara boros; ia merasa
hartanya itu merupakan amanah dari Allah swt. untuk dimanfaatkan sesuai dengan
ketentuan-Nya (Q.S. 24:33).
Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana
yang lazim baginya mencapai tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang dan
pelayan bagi realisasi akidah dan syariatnya.
Akhlak, kesatuan antara ekonomi dan akhlak ini akan makin jelas pada
setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan produksi, konsumsi,
distribusi, maupun kegiatan lainnya. Akhlak adalah landasan sekaligus bingkai
bagi setiap aktivitas ekonomi. Jack Aster, pakar ekonomi Prancis, dalam
bukunya, Islam dan Perkembangan Ekonomi, menyatakan Islam sebuah sistem hidup
yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi.
Kedua hal ini berkaitan erat, tidak pernah terpisah satu dengan yang
lainnya. Dari sini bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan menerima sistem
ekonomi kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan material dengan
mengesampingkan hal-hal yang bersifat moral. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang
mengambil kekuatan wahyu Allah di Alquran, dan karena itu pasti berakhlak.
Akhlak ini mampu memberikan makna baru terhadap konsep nilai dan mampu mengisi
kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era industrialisasi.
Kemanusiaan, ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan, artinya, ekonomi
yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat
kebendaan maupun yang bersifat kejiwaan. Manusia merupakan tujuan--antara
kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya, dan
memanfaatkan ilmu yang diajarkan Allah swt. kepadanya dan anugerah serta
kemampuan yang diberikan-Nya. Di antara nilai kemanusiaan yang sangat menonjol
dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam--termasuk kegiatan
ekonomi--adalah keadilan, persaudaraan, saling mencintai, saling membantu, dan
tolong-menolong. Sebab itu, harta tidak boleh hanya dimiliki sekelompok orang
kaya (Q.S. 59: 7). Adanya kesadaran pada setiap harta yang kita miliki terdapat
hak-hak orang lain (Q.S. 70: 24--25) yang tercermin dalam pelaksanaan zakat,
infak, dan sedekah yang dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya, yang pada umumnya adalah orang yang duafa dan fakir miskin (Q.S.
9:60).
Pertengahan/keseimbangan, keseimbangan merupakan ruh dari ajaran Islam,
sekaligus merupakan ruh pula bagi kegiatan perekonomian Islam. Misalnya,
keseimbangan dalam pemilikan antara individu dan masyarakat (negara).
Secara jujur diakui aplikasi ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi yang
tersebut di atas masih memerlukan usaha dan kerja keras yang sungguh-sungguh
dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Mislanya, yang menyangkut
penyadaran umat tentang perlunya kegiatan ekonomi yang berlandaskan ajaran
Islam yang merupakan konsekuensi keimanan yang mengaharuskan aplikasi secara
kafah (Q.S. 2: 208), demikian pula pemilikan SDM muslim yang andal,
profesional, amanah, dan terpercaya, serta pemilikan lembaga ekonomi Islam
seperti bank yang bebas dari riba.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar