Jumat, 04 Februari 2011

Belajar dari Orang Lain


Setiap orang punya pendalaman diri masing-masing. Dan pendalaman itu lah yang menjadikan seseorang memiliki karakter yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada pengalaman, ilmu dan pemahaman atas pengalaman dan ilmu itu yang musti berbeda-beda antara seseorang. Tidak ada yang sama sebab masing-masing memiliki strukturnya sendiri-sendiri. Maka tak bisa dipaksakan sesuatu pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki oleh seseorang untuk dimiliki juga oleh yang lain. Anarkis namanya jika tetap dipaksakan. Struktur itu dapat berbentuk kemampuan ekonomi, latar belakang social, keluarga, adat, pendidikan juga pengalaman yang dialami oleh masing-masing orang. Dan banyak orang juga perpendapat berbeda tentang berbagai struktur tersebut. Ada sebagian yang mengatakan bahwa kemampuan ekonomi adalah diantara struktur itu yang paling besar pengaruhnya terhadap pengetahuan dan pengalaman seseorang. Namun juga ada yang lain yang berpendapat bahwa pendidikan yang paling dominan, dan lain seterusnya. Tentu saja, juga tak lepas dari pendalaman atas pengelaman dan pengetahuannya masing-masing orang memiliki pendapat yang berbeda-beda terhadap struktur-struktur itu.

Sekali waktu, dalam bagian perjalanan hidup ini, aku menemukan watak-watak yang demikian berlainan dari masing-masing orang. Jika mereka tidak dari bagian sosialku, mungkin kurang menarik untuk aku angkat dalam tulisan kali ini. Tapi keberadaan mereka adalah justeru bagian duniaku, baik pengalaman maupun pengetahuan, yang aku rasa sangat memiliki peran membentuk cara pandangku terhadap berbagai pendalaman tersebut. Sayang sekali lantaran gegabahanku dalam mengambil kesimpulan, salah satu diantaranya aku anggap lebih rendah “minor” pendalamannya dari yang lain. Sebuah kesimpulan yang aku rasa tidak bijak dan menyesatkan. Nyatanya setelah kesimpulan itu aku pegang betul benar-benar menyesatkan, dalam pengertian bahwa aku seringkali meremehkan pendapat dan gagasan seseorang yang aku anggap minor tersebut, dan selalu mengiayakan pendapat yang lain. Namun setelah dengan keduanya aku banyak belajar tentang banyak hal, aku baru menyadari bahwa keduanya memiliki kekhasan masing-masing. Dan dengan itu segera aku evaluasi kesimpulanku yang lalu. Justeru karena evaluasi itu pula, tulisan ini aku turunkan.

Dari berbagai diskusi, aku-pun mulai tahu teman-teman diantaraku juga banyak yang merendahkan orang yang pada mulanya ku anggap minor tersebut. Bahkan lebih parah mereka sampai pada cibiran, hasutan dan menganggap peran-perannya hanya pinggiran dan tak berarti. Aku jadi bertanya sejauh mana mereka mengartikan peran, hingga demikian cepat dan tegas membuat klasifikasi yang berperan dan yang tidak, pinggiran dan tengah. Namun  dari berbagai penjelasan yang ku dapat dari mereka, ternyata mereka juga tak jauh beda dengan apa yang pernah ku sangkakan pada awalnya. Membuat kesimpulan yang terlalu cepat dan menyesatkan.

Bicara dengan dua orang itu, nyatanya memang membuka wawasan yang sangat lain dari pengetahuanku. Aku banyak mendapat masukan dan dorongan hidup dari mereka. Terutama yang tidak dapat aku lupakan adalah adanya rasa berbagi yang demikian besar pada masing-masing mereka untuk yang lain. Juga penghargaan terhadap mereka-mereka yang kebetulan secara ekonomi kurang mampu. Suatu kali ucapnya “ Kita harus lebih menghormati dan menghargai mereka-mereka yang sampai saat ini kekurangan secara ekonomi, sebab jika ditilik dari sejarah perjuangan mereka, sampai yang kamu rasakan saat ini, mereka-mereka itulah yang secara mati-matian justeru merelakan hidupnya untuk organisasi. Kamu pun dapat meresakan, bahwa sesungguhnya mereka juga merasa malu saat ini tidak dapat memberi banyak pada organisasi, diundang tidak hadir, misalnya, atau selalu mengambil duduk belakang pada saat acara-acara besar. Anehnya kita juga jarang sekali menyapa mereka. Siapa lagi yang harus menghargai mereka, selain kita, kalian, temen-teman yang sekarang masih aktif. Toh bagaimanapun, tanpa mereka, kemungkinan organisasi juga tak sebertahan seperti sekarang. Hormatilah mereka, apapun adanya.”

Dan ucapan yang lain “orang bisa saja berubah dari yang jarang shalat menjadi sangat rajin shalat, dari yang jahat menjadi sangat baik, dari yang tak mau menyapa jadi suka bergaul. Akan tetapi jarang sekali orang yang berubah dari kikir, pelit, tak pernah membari menjadi pemberi dan dermawan, maka ajarkanlah sejak dini anak-anakmu untuk biasa memberi. Persoalan social kita saat ini yang paling mendasar, mengapa ada kesenjangan social yang demikian jauh, adanya tingkat kejahatan yang tinggi, kerusuhan social, adalah disebabkan oleh tidak-adanya rasa berbagi pada mereka-mereka yang kaya kepada yang miskin. Hilangnya solidaritas sosial, dan individualisme yang semakin akut.”

Dengan itu pembicaraan kami mengalir juga pada menyikapi temen-teman yang kebetulan saat ini sukses secara ekonomi namun, tak banyak berbagi pada komunitas. Katanya” ya…saya kira, kita juga jangan terlalu banyak menggantungkan pada orang lain. Mereka mungkin merasa bahwa keberhasilan mereka adalah hasil upaha sendiri, hingga tak perlu melibatkan kita dalam keberhasilannya, atau mungkin menurut mereka belum saatnya dengan kesuksesan itu untuk berbagi pada yang lain. Memang hanya orang-orang pilihan yang memiliki jiwa berbagi. Dan dalam lingkar inti kita-lah rasa berbagi itu harus senantiasa ditanamkan.”

Aku benar-benar jadi pendengar setia dalam setiap ucapannya. Hanya sesekali aku menyambung, namun selebihnya banyak memilih diam merenungkan setiap kata-katanya, yang bagiku meluncur dengan sangat ikhlas dan penuh harap tersebut. Pembicaraan tertutup dengan sendirinya, sebab mata meminta masanya untuk segera dipejamkan. Kami tertidur dalam ruang sempit penuh barang dan tumpukan buku; belakang taman baca

Tidak ada komentar: