Sabtu, 05 Februari 2011

MENILIK PERSOALAN PANGAN DI INDONESIA

Istilah menilik sebetulnya kurang tepat untuk mengkaji persoalan yang begitu besar di Indonesia, yakni tentang masalah pangan. Namun penggunaan istilah ini tidak lebih sebagai bentuk keterwakilan penulis sebab dengan kedangkalan pengetahuannya akan masalah pangan di Indonesia, jauh panggang dari api jika penulis dapat menyelusuri secara detail persoalan pangan yang akhir-akhir ini mengalami keadaan yang makin puruk sepanjang 10 tahun tekahir setelah mulainya gejolak reformasi 1997, atau bahkan 40 tahun terakhir selama masa kepemimpinan Orde Baru. Sebab keterbatasan itu, maka istilah menilik lebih tepat dipilih utuk sekadar memicingkan mata melihat sepintas ada masalah apa yang terjadi dengan pangan di Indonesia. Mengapa dalam tiga bulan terakhir sejak memasuki tahun 2007 harga beras begitu melambung tinggi. Bahkan tercatat pada pertengahan Februari untuk beras kualitas sedang di pasaran berkisar harga antar 6000 sampai 8

000 rupiah per kilo.
Sungguh masih terngiang jelas bagaimana kasus kelaparan yang melanda Yahukimo, Papua pada akhir 2005 yang hingga sekarang belum jelas penyelesaian kasusnya. Ditambah lagi kelaparan di NTT, dengan jatuhnya beberapa korban akibat penyakit busung lapar. Gizi buruk yang menimpa puluhan balita di Jawa Barat, Lampung dan Kalimantan serta di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Serta sederet kasus akibat kekurangan pangan yang menjadikan batin siapapun yang masih memiliki nurani kemanusiaan jelas tidak kuat mendengarnya.
Beberapa kasus diatas adalah kasus-kasus pokok yang saking parahnya hingga dapat diliput oleh media. Dapat dibayangkan berapa ratus kasus lain yang terkait yang belum tercover oleh public. Saya sendiri tak dapat memahami apakah itu lantaran tidak adanya komunikasi dengan pemerintah daerah setempat. Minimnya transportasi hingga berbagai kasus tersebut tidak dapat dilacak atau ada faktor kesengajaan pemerintah setempat untuk tidak mnunjukkan belang daerahnya agar tidak mencoreng nama baik daerah sehingga tidak membuat para investor cabut dari sana, atau lebih parah lagi tidak pedulinya pemerintah pusat terhadap berbagai kasus kelaparan yang terjadi di daerah, hingga bertahun-tahun dan seolah menjadi hal yang biasa terjadi. Ketakutan untuk mengangkat kasus tersebut ke public atau berbagai alasan yang lain. Tapi bagi saya sangat naïf dan laknat jika alasannya adalah ketidaktahuan pemerintah pusat atas pelbagai hal yang menimpa daerah. Bukankah birokrasi kita sedmikian tersusun rapi sampai ke tingkat camat, desa dan bahkan RT. Lantas apa guna mereka digaji, kalau untuk sekadar tahu masalah yang paling pokok manusia “makan” saja tidak mampu. Apalagi nanti dituntut menyelesaikan masalahnya. Mundur saja jadi pejabat.
Demikianlah hampir setiap kasus—apapun itu—yang terjadi di Negara kita jika tidak diblok-up oleh wartawan, tidak diobok-obok oleh demonstran, seolah tidak ada kesadaran pemerintha untuk secepatnya menylesaikan masalah tersebut. Mungkin memang seharusnya ada lebih banyak lagi bencana alam yang menimpa bangsa ini, hingga memaksa mereka untuk bertindak.
Jika dalam keadaan yang dirasa normal—harga beras rata-rata 3500/4000, dengan tingkat inflasi tahunan 6,5%—saja banyak kelaparan terjadi, bagaimana dengan harga yang saat ini telah naik sampai 100 %. Tentu banyak bayi yang meninggal sebelum mereka lahir, orang tua yang gantung diri lantaran tidak kuat lagi menghidupi keluarganya, kerusuhan akibat rebutan beras, juga berbagai aksi anarkis akibat tidak kuat lagi bertahan dalam kondisi yang kian terpuruk.

Tidak ada komentar: