Rabu, 09 Februari 2011

Sepenggal Kisah di Lereng Sindoro

Temanggung, 21 Februari 2007

Kadangkala sesuatu yang tidak direncanakan justeru lebih berkesan. Kesan itu selain mendalam, biasanya juga sangat alami. Mungkin karena adanya makhluk bernama “rencana” itulah yang justeru akan memaksa kehendak sesuatu, yang seharusnya lebih indah jika berjalan secara alami. Dan sebagai biasanya, karena adanya kesan itulah aku menuliskannya dalam catatan harianku.
Pada perjalanan kali ini aku mengalami keduanya. Di satu sisi, suatu yang sungguh aku rencanakan sedari awal, dan pada sisi yang lain, sesuatu yang tiba-tiba saja muncul secara spontan dan berjalan alami apa adanya. Yang pertama, dengan berbagai rencana yang sangat matang kukira, yang kususun sejak berangkat dari jogja, nyatanya tidak ada yang terbukti. Yakni keinginan untuk dapat melihatmu lebih lama, menikmati tawa kudamu, dan berharap pekik-panggilan yang keras darimu. Namun sebagaimana aku sebut dari awal, selalu demikianlah adanya rencana, lebih sering terasa kering dan akhirnya juga: Gagal. Padahal masa-masa itu lama benar aku menunggunya. Mungkin kegagalan itu bukan sebab kau tidak peduli padaku, tapi lebih karena aku terlalu memaksakan suasana yang tidak memungkinkan semua rencanaku berjalan dengan baik. Atau bisa jadi memang aku hanyalah makhluk yang sama sekali tidak penting dalam duniamu, yang dengan begitu PD-nya berusaha menarik simpati, dan ternyata sama sekali tak kau pedulikan. Ah...pastilah semua karena rencana gila itu. Bukankah rencana adalah paksaan atas suatu kondisi agar sesuai dengan yang kita inginkan. Pastinya, rencana adalah paksaan. Dan setiap paksaan akan melahirkan jenis makhluk baru yang bernama: Resistensi.
Oleh karena terlalu direncanakan segalanya, dalam tradisi modernitas, semua laku manusia berjalan tampak kaku, tegang dan jelas tidak alami. Narasi-narasi besar yang ada dalam alam pikiran modern itulah rencana paksaan yang harus diikuti tanpa kritik, sebab jika tidak, siap-siap saja dikatakan manusia zaman batu, kolot dan anti kemajuan. Dan karena takut dicap sebagai manusia kolot, tidak maju itulah mau-tidak mau, suka atau tidak, akhirnya semua berbondong-bondong menyambut—sekalipin dengan latah—budaya modern.
Tak perlu kiranya bercericau panjang tentang carut-marut modernitas, sebab dia telah hidup dan berkembang dalam logika hidupnya sendiri. Disamping itu lebih tepatnya aku kisahkan pada tulisan-tulisan yang lain. Juga, bukankah tujuanku hanyalah akan mengisahkan apa yang ku sebut sebagai suatu yang tak direncanakan tadi. Begini kisahnya:
Usai mengikuti acara di Wonosobo—ku sebut sejak tadi tak pernah direncanakan—kami berangkat ke Temangung. Sebetulnya keinginan mampir ke Temanggung yang tiba-tiba saja muncul menyeruak dalam benak pikiran itu akan kami jalani dengan jalan kaki. Aku membayangkan betapa indah lereng-lereng pegunungan dengan perkebunan teh di samping kiri, samping kanan itu dinikmati sambil jalan kaki. Menikmati jalanan pegunungan yang kelok-kelok dan sesekali diiringi gemericik aliran air gunung: Wow...betapa indahnya ! Tapi oleh karena ada beberapa hal yang tidak memungkinkan—terutama adanya beberapa teman yang tertinggal rombongan motor ke Temanggung—kami dengan sangat terpaksa mengantar mereka. Sebagai tamu, jelas ada rasa ga-enak jika mereka kami ajak berjalan. Kaki perempuannya yang ku lihat begitu terawat dan dimanjakan tidak mungkin kuat menempuh perjalanan kaki Wonosobo-Temanggung. Maka dengan menggunakan bus mini—kendaraan khas ala daerah pegunungan—kami mengantar mereka menyusul rombongan yang telah pergi lebih dulu ke desa Talun, Banjarsari, Temanggung.
Desa Talun adalah deretan desa-desa di salah satu lereng gunung Sindoro yang merupakan bagian dari desa-desa lain yang membentuk lajur-lajur kecil jika dilihat dari kaki gunungnya. Lajur-lajur desa itu nampak seperti kerumunan pernik-pernik merah diantara hijauan rimbun-rimbun bambu atau warna lain dari hijau setengah kemuningnya sawah-sawah penduduk yang berlarik apik membentuk barisan-barisan terasering. Desa-desa itu terkadang nampak dengan jelas, tapi lebih sering sebagai samar-samar menampak diantara arakan awan atau dalam balutan kabut gunung yang mulai terangkat naik pada senja hari.
Dari lereng yang lebih tinggi, barisan desa-desa itu hanya kelihatan bercak hitam diantara gumpalan kabut-kabut tipis yang berarak naik. Juga tidak jarang muncul hanya sebagai gundukan-gundukan hitam-kecoklatan di tengah-tengah rerimbun hijau. Desa Talun sendiri terletak agak tinggi di lereng Sindoro, hingga dari sana dapat menikmati sederetan perbukitan, lajur-lajur sawah serta pernik-pernik lampu pedukuhan lain yang kelihatan seperti kerdip lilin di malam hari.
Dari sana pulalah, perbukitan dan gunung-gunung yang berada di timur maupun tenggara akan terlihat sangat jelas pada pagi hari. Semisal: gunung Merbaru, Merapi, Sumbing, serta sederetan gunung lain yang belum lagi jelas namanya. Melihat semua gunug-gunung itu berjejar-berdekatan aku jadi membayangkan betapa akan sangat dahsyat jika dalam sekali waktu semua meletus secara bersamaan. Gunung-gunung itu semuanya aktif, dan sebagai sesuatu yang aktif pastilah pada saatnya akan sampai ke-kondisi tidak aktif, diinginkan atau tidak. Dan terjadilah bercana yang paling mengerikan dan terdahsyat diabad ini: Belasan gunung meletus bersamaan. Na’udzu billah.
Setiap kali kaki menginjak lereng Sindoro—sebagaimana dua dan tiga tahun lalu—dengan hiasan panorama alam yang hijau, hamparan sawah yang demikian luas, tanah yang subur dan produktif, kecipak air persawahan, kicauan burung-burung musim panen, aku selalu berpikir dan semakin yakin pasti ada yang salah urus dengan republik ini. Bagaimana mungkin dengan bentangan sawah yang hijau bertaman padi, sayuran, buah-buahan, palawija, dan berbagai aneka rempah-rempah, rakyat tetap saja mengalami penyakit busung lapar, harga beras mahal, dan kurang gizi. Belum lagi dengan kekayaan alam lain; Hutan, air, laut yang merupakan sepertiga dari bangsa ini, hasil tambang, minyak bumi, juga kondisi cuaca dan angin daerah tropis yang ramah dan potensial menghasilkan berbagai janis tanaman. Apalagi yang dapat dikatakan, selain bahwa bangsa ini telah benar-benar dikuasai oleh tangan-tangan yang salah, rakus, oportunis, hingga semuanya salah urus. Jelas mereka sama sekali tidak mengerti apa yang dinamakan sebagai geopolitik. Nusantara yang demikian luas dan kaya ini, dapat dimakan demikian lahapnya oleh Negara kecil seperti singapura, di habisi Amerika, dikeroyok ramai-ramai oleh bangsa-bangsa lain, sementara rakyat terus merengek kelaparan, dan berbondong menjadi TKI di negeri seberang, karena merasa tidak ada yang dapat dimakan dinegeri ini. Kadang disiksa oleh majikan, dikejar-kejar sepanjang malam di perkebunan sawit Malaysia, diperkosa oleh tuan-tuan Arab, dan tetap saja mereka berangkat beramai-ramai kesana, lantaran tak ada yang dapat dibanggakan di negeri ini. Jelaslah, memang penguasa-penguasa bangsa ini tidak ada yang paham apa itu makna sesungguhnya geopolitik hingga selalu salah urus dalam mengelolah bangsa ini.
Aku kira kekayaan nusantara ini harus selalu ditanamkan pada setiap generasi bangsa. Agar semua sadar bahwa berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini tidak berjalan secara alami, bukan sunatullah apalagi takdir. Tapi jelas disebabkan oleh adanya kebijakan penguasa Negara yang tidak punya rasa tanggung jawab, tak bervisi, ditambah dengan mental penguasa yang korup. Dengan “memitoskan” kembali kekayaan alam ini akan tergugah sanubari anak bangsa untuk selalu membela dan melindungi alam raya nusantara dari rongrongan dan eksploitasi Negara-negara asing, pun oleh perusahaan-perusahaan multinasional.






Sendang Sengon
Perjalanan selanjutnya usai melepas penat dan lelah semalaman, pagi benar kami berangkat ke Sendang. Sendang adalah sebuah nama untuk menyebut telaga dengan sumber air yang mengalir dari ceruk-ceruk kaki gunung, dan akar-akar pepohonan. Dalam sebutan umum, Sendang sebagaimana halnya telaga, tapi dengan ukuran lebih kecil. Air itu kemungkinan besar sudah mengalir demikian sejak awal kelahiran manusia, sebab saat mereka ditanya tak ada yang tau kapan pastinya air itu mulai mengalir. Juga jawaban yang ku dapat selalu berbeda-beda tentang asal mula dan sejarah Sendang tersebut. Ada yang mengatakan bahwa air itu adalah anugrah Tuhan yang diberikan pada seorang pendahulu desa sebab selama hampir 30 tahun, dia puasa mutih dan semadi disana mengharap anugrahPencipta jagat untuk kesejarteraan hidup anak cucunya. Ada juga yang mengatakan bahwa sumber itu muncul lantaran dahulu pernah terjadi perkelahian sengit antara ular raksasa, dan petani. Pada saat ular itu kalah dia masuk bersembunyi di gundukan tanah itu hingga suatu saat muncullah sumber air Sengon. Apapun ceritanya yang jelas air itu sampai sekarang tetap mengalir sebagaimana dahulu-dahulu. Ku simpulkan saja bahwa air itu mengalir keluar, lantaran kandungan air di dasar gunung Sindoro yang melimpah, hingga suatu saat ketika terjadi gempa vulkanik—entah tahun berapa sebab dalam catatan letusan gunung yang pernah ku baca, belum disebutkan nama gunung Sindoro—tanah yang di dalamnya terdapat kandungan air itu merekah dan jadilah sumber air yang mengalir tiada henti sebelum ada pemukinan penduduk sampai saat ini.
Dari Sendang Sengon itulah, sebagian besar kebutuhan air petani untuk mengairi persawahan dan kebutuhan penduduk setempat akan air terpenuhi. Mulai dari mencuci, kebutuhan air mimun serta mandi dan memandikan ternak mereka. Menurut cerita orang-orang setempat yang dapat dipercaya kebenaranya, Sendang yang lalu dinamakan Sendang Sengon adalah diambil dari nama sebuah jenis pohon, yakni pohon Sengon yang memang banyak tumbuh sekitar lokasi Sendang tersebut. Sendang Sengon sendiri terbagi dalam beberapa bagian, ada Sendang utama yang merupakan pusat sumber air dengan diameter kurang lebih 90 meter. Sendang utama itu dilindungi dengan pagar tembok setinggi dada orang dewasa. Dulunya pagar itu tidak ada, namun dikhawatirkan nantinya ada anak-anak yang dapat terperosok dan tenggelam ke dalamnya, maka baru satu tahun pagar itu dibangun. Sendang utama itu juga biasa dipakai untuk mandi berenang. Sementara di bawahnya ada beberapa Sendang-Sendang kecil serupa kolam-kolam yang lebih menyerupai kamar-kamar mandi umum, dengan pancuran yang dialirkan dari Sendang utama. Disana-lah masyarakat setempat biasa mandi, mencuci, dan memenuhi kebutuhan air yang lain, serta membersihkan badan usai seharian bekerja keras di sawah.
Dari semua itu yang lebih menarik adalah selain airnya yang jenih kehijauan lantaran di dasarnya tumbuh dengan sangat lebat lumut-lumut batu, juga keharusan bagi para pendatang untuk berwudlu sebelum mandi atau memulai aktifitas dalam airnya. Tak jelas benar mengapa ada keharusan berwudlu untuk para pendatang. Mungkin dengan bersuci lebih dahulu adalah sebagai harapan bahwa niat utama ke Sendang haruslah bersih dari keinginan merakusi airnya, ikhlas menjaga kejernihan dan tidak mengotori kejernihan Sendang setempat. Dengan lokasinya yang cukup tinggi, dari Sendang Sengon memungkinkan memandang sampai batas pertemuan ufuk hamparan kemuning sawah, petani dengan berbagai aktifitasya, serta perkampungan penduduk di bawah ngarai yang nampak berundak antara coklat tanah dan hijau dedaunan.
Air Sendang yang tiada henti mengalir, menimbulkan suara gemericik, memberikan kesan alami yang sangat mendalam. Juga kecipak pompa tradisional yang bersembul-turun dari pagi-siang, malam dan pagi lagi mengingatkan suasana damai penuh kesejukan. Pada saat sembulan itu ditekan, air dari pipa akan memancur deras menyembur ke atas bagai air mancur. Aku paling suka memainkannya. Sebab pada waktu yang bersamaan kesegaran airnya yang memancur akan mengguyur badan. Pada saat pakaian jadi basah, dingin dan segar menyelimuti seluruh tubuh, maka hilanglah timbunan penat dan kekesalan yang mendaki dipikiran.
Dari pompa tradisional dengan sembulan yang naik-turun tanpa henti itu pula terpancar air dari telaga Sengon yang mengalir memenuhi kebutuhan penduduk yang tinggal jauh di pedukuhan lain. Bahkan menurut warga setempat mengalir sampai di daerah Magelang.

Perjalanan menuju Sendang Sengon dimulai....
Sehabis melepas lelah semalaman di desa Talun, aku bersama tiga orang teman, berjalan kaki kearah timur laut menuju Sendang Sengon. Jarak yang hanya sekitar 3 kilo itu sayang sekali jika dilewatkan dengan naik motor atau kendaraan lain. Sebab “Dengan jalan kaki keindahan abadi akan teraih” Demikian ucap salah seorang teman, mengawali pembicaraan perjalanan menuju Sendang.
Jalan kampung yang menghubungkan antar desa dan pedukuhan, bukanlah jalan sebagaimana di perkotaan dengan aspal yang panasnya menyengat dan timbunan sampah. Serta bukan deretan selokan kotor berbau yang disana orang-orang kota membuang berbagai kotoran sampah juga limbah rumah tangga. Juga bukan jalanan dengan sederetan gedung-gedung tinggi yang berkaca dan panas disamping suara bising kendaraan disertai asap beracun yang meracuni siapa saja para pejalan kaki sebab tidak bermasker. Sepanjang jalanan kota tidak dikenal istilah “menyapa”, kecuali bagi mereka yang beruang. Apalagi menegur untuk singgah dan mampir barang sebentar. Kalaupun ada yang menegur, pastilah bermaksud menjajakan barang atau menawarkan jasa yang lain. Jika tidak punya uang, jangan coba-coba berlagak baik, apalagi mengiakan, sebab penjaja-penjaja itu akan terus mengejar sampai benar-benar laku barangnya. Dan jika kita tidak sanggup membeli, dengan wajah sinis dan muka menantang mereka akan membentak “ Dasar Kere !!!”.
Demikian halnya di toko-toko yang penjaganya kelihatan cantik-cantik, sumringah dengan pasangan tampang ramah dan seolah senyum pada siapa saja yang kebetulan lewat di depannya. Semuanya adalah instant, hanya kamuflase. Tampang ramah dan senyum instant itu sengaja dibentuk demikian guna menarik pembeli. Senyum itu sendiripun bernilai uang. Jikia anda datang memegang atau melihat barang-barang dagangan kemudian telah beramah-tamah dengan mereka, sungguh anda benar-benar harus ada niat untuk membeli, atau minimal mereka tahu bahwa anda memiliki uang. Sebab jika tidak, sikap ramah dan senyum mereka dengan segera akan berganti menjadi judes, bersungut dan sinis mengejek. Beruntung jika anda tidak disemprot dengan makian “ Kalau ga niat beli, jangan lihat-lihat….”
Jalanan kota memang kejam. Tak ada kerabat, terlebih saudara. Yang ada hanya uang. Ada uang ada sapa. Ada uang ada kawan juga ada tampang ramah dan senyuman gadis cantik montok yang dipoles dan dipajang diantara etalase-etalase pertokoan. Dan tanpa uang, jadilah gembel, pengemis dan sampah jalanan lorong-lorong perkotaan.
Jalanan kampung sepanjang lereng Sindoro adalah jalanan dengan tatanan batu gunung berlarik apik. Batu-batu itu sengaja dipasang sebagai landasan jalan agar pengendara motor atau pejalan kaki tidak tergelincir saat berjalan. Disamping itu jalanan berbatu dimaksudkan supaya air hujan dapat terserap oleh tanah hingga tidak terjadi banjir dan longsor. Rumah-rumah penduduk lereng Sindoro terletak berderet saling hadap sepanjang jalanan batu. Sesekali diselingi persawahan penduduk dengan aneka macam tanaman, lalu kumpulan rumah-rumah lagi dan seterusnya. Selingan tamanan itu juga beraneka macam. Ada jagung, padi, tanaman palawija, juga aneka jenis sayuran, dari sawi, cabe, tomat, kubis, bawang merah, bawang putih wortel sampai bawang Bombay.
Setiap pagi, untuk memenuhi kebutuhan sayuran, mereka tinggal petik berbagai aneka sayur yang sebagian sengaja ditanam di pekarangan rumah. Sayangnya, para petani sayur ini bernasib tidak jauh beda dari para petani yang lain. Pada saat musim panen, harganya selalu anjlok. Padahal, dari perawatannya sayuran membutuhkan biaya yang lebih mahal dari jenis tanaman lain. Sementara dengan biaya yang sangat tinggi, sebab harga pupuk saat ini tidak lagi dapat subsidi dari pemerintah, petani sayur selalu dihadapkan pada harga yang sangat rendah pasa saat panen. Bahkan sempat terjadi harga kubis sampai 60 rupiah per kilo.
Kondisi ini sudah tentu menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dalam arti seharusnya ada perhatian yang lebih pada mereka mengingat negeri ini adalah negeri agraris. Perhatian itu dapat berwujud mulai dari pembatasan import berbagai hasil bumi yang ada, pengaliran dana yang mudah ke petani, sosialisasi hasil panen ke daerah-daerah lain, sampai usaha pengelolahan sayuran atau jenis tanaman lain menjadi aneka jenis makanan atau bahan dasar pengolahan kebutuhan lain. Bukankah dengan usaha-usaha itu tak perlu lagi ada derita busung lapar dan gizi buruk yang menimpa bangsa ini. Kalaupun alasan tidak memberikan kemudahan dana pada petani adalah karena banyaknya terjadi penyalah-gunaan dana, tentu jika penguasa masih memiliki nurani kebangsaan, akan dapat melihat bahwa kondisi itu terjadi tak lain dari cerminan para birokrasi penyalur dana yang tidak beres.
Sebagai negeri dengan mayoritas masyarakat agraris harusnya ketahanan pangan Indonesia diprioritaskan, sehingga dapat diandalkan. Jika petani makmur, tentu masyarakat lain juga akan bergerak menuju kemakmuran. Sebab pangan murah, kebutuhan pokok terjangkau, dan sudah pasti pengangguran akan teratasi, sebab dimanapun dari dulu dunia pertanian selalu menjadi penyerap tenaga kerja terbesar. Mulai dari penanaman, pengelolahan hasil pertanian, sampai penjualan produk-produk pertanian. Dan sudah pasti dengan kemakmura mereka, usaha-usaha sektor yang lain juga akan ikut terangkat naik. Bukankah mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani, jika yang mayoritas ini mencapai kemakmuran, konsumsi masyarakat akan tumbuh, dan dengan demikian tumbuh pula pendapatan Negara. Apa yang masih diragukan dengan mengeluarkan kebijakan yang perpihak pada petani. Petani akan makmur, jika harga penunjang pertanian seperti pupuk, benih, bibit dan sebagainya terjangkau. Dan semuanya akan terjangkau, hanya dan hanya jika ada kebijakan Negara yang sepenuhnya berpihak pada petani.
Dalam usaha mendorong kehidupan petani yang makmur, dan bervisi ketahanan pangan, Indonesia harus banyak belajar dari China, Thailand dan Vietnam. Di China ada system pemberian pinjaman dengan bunga 0%, yang dikhususkan pada usaha mendorong kemandirian petani. Sementara untuk meningkatkan produksi pertanian terutama beras dan ketan hitam, di Thailand dan Vietman pada awal 1990-an, pemerintah setempat memberikan traktor gratis untuk setiap kelompok petani yang terdiri dari 10-15 orang. Dan tentu saja upaya serius dari pemerintah tersebut juga diikuti dengan proteksi beberapa barang import untuk hasil pertanian. Hal inilah yang menjadikan Thailand saat ini sebagai Negara pengeksport beras tertinggi se-Asia. Bahkan termasuk beras yang hampir menguasai 60 % pasaran beras di Indonesia.
Maka saat ini jika harga beras di Indonesia mencapai harga yang sangat mahal (5.500 – 6.500/Kg), yang paling mungkin untuk digugat adalah jelas penguasa Negara dalam mengelolah negeri ini. Ku kira ini bukan semata tuduhan, tapi jelas prioritas untuk pengembangan sawah sebagai basis Negara agraris sama sekali tidak menjadi prioritas dalam blue-print kebijakan pemerintah. Disamping itu, konsentrasi yang demikian besar pada kebijakan moneter, pengembangan usaha padat modal, hanyalah dapat dinikmati oleh pengusaha-pengusaha kaya yang merupakan kelompok sangat kecil di negeri ini (4 %), sedang sekitar 80 % penduduk dengan pendapatan dibawah 1 juta/bulan, atau 61 % berpendapatan di bawah 500 ribu/bulan tidak banyak mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka-mereka itulah yang sebagian besarnya dari golongan petani, nelayan, buruh dan pegawai rendahan.
Karena selama ini para petani jauh dari kehidupan yang layak dengan pendapatan yang tidak menentu, harga murah pada saat panen, serta biaya yang sangat mahal pada musim tanam, wajar jika mereka mulai mengalihkan fungsi sawah mereka yang pada awalnya sebagai lahan produktif pertanian, dijual ke pengambang real estate, perumahan, pertokoan, dan sebagian besar besar bergeser ke usaha pertambakkan. Ada juga beberapa daerah seperti Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan lain-lain yang beralih dari petani padi ke petani karet, kelapa sawit, dan sejenisnya.
Dengan lingkaran kemiskinan yang dialami petani dari generasi ke generasi, turun-temurun, dari tahun ke tahun, mereka kemudian lebih banyak yang memilih hidup untuk menjadi buruh di kota, kuli pelabuhan, PRT, TKI dengan meninggalkan lahan atau jusretu menjualnya. Dari situlah awal runtuhnya ketahanan pangan nusantara yang dahulu pernah menyandang gelar “Jawa Dwipa”. Tak ada lagi anak bangsa yang peduli pada pertanian, musnah sudah generasi yang memiliki keahlian bertani, sekalipun banyak sarjana pertanian, mana mau mereka menjadi petani. Serta lebih fatal lagi adalah tumbuhnya rasa rendah diri, sebab takut dianggap primitif dan kolot jika ada anak muda yang bergelut di dunia pertanian. Jika petani meninggalkan sawah, kelaparan pastilah melanda.

****

Diantara jalan berkelok dengan hamparan sawah sejauh mata memandang, diikuti riak aliran sungai kecil untuk irigasi yang gemericik mengalir tiada henti, kami berjalan menyusuri perkampungan keluar-masuk pedukuhan. Kadang sengaja menyisir menyusuri jalanan pinggiran perkampungan untuk mendapatkan kesan pedukuhan yang lebih indah, kembali masuk ke jalanan tengah, keluar dan seterusnya.
Pada separuh perjalanan, kami sempat berbincang ramah dengan ibu-ibu muda dan bapak-bapak petani. Mereka selalu menyambut tamu asing dengan sangat ramah. Kultur petani yang kuat senantiasa mengajarkan mereka untuk hidup kekerabatan, gotong-royong, bawon, dan saling membantu antar sesamanya. Kondisi ini akan lebih nampak lagi pada musim panen. Setiap panen, pemilik sawah akan mengundang sanak kerabatnya, tetangga dekat, dan berbagai handai tolan mereka untuk beramai-ramai memanen. Mereka akan mendapatkan bagian dari setiap hasil panenan yang mereka dapatkan. Selanjutnya, usai melakukan kerja panen, pemilik sawah/lahan akan menyediakan makanan untuk mereka santap beramai-ramai. Itulah yang disebut sebagai panen raya. Tradisi itu bergulir dari petani satu ke petani yang lain demikian seterusnya sehingga menimbulkan tradisi kekerabatan yang sangat kuat, saling menjaga dan bantu-membantu. Modal social yang demikian besar ini sayangnya tidak dikelolah sebagai kekuatan bangsa untuk mulai hidup mandiri dan bebas dari eksploitasi pihak asing.
Keramah-tamahan mereka tidak sebatas sikap instant sebagaimana para penjaga-penjaga toko di kota-kota, orang kota dan kehidupan kota yang lain, tapi sebuah keramahan yang penuh keihlasan, yang khas, inner attitude sebagaimana hamparan hijauan padi, gemericiknya alir air sungai juga kesejukan alam lereng Sindoro. Bahkan di tengah perjalanan seringkali kami dipersilahkan singgah barang sebentar untuk minum teh atau yang lain. Entahlah apakah sikap semacam itu sekadar basa-basi atau serius, tapi sebagai tamu-pelancong tak baik jika menerima saja berbagai permintaan itu—mungkin inilah salah satu karakter orang kota yang suka selidik dan mencurigai—sebab kami belum tahu pasti kebiasaan yang berjalan selama ini di masyarakat setempat. Untuk tidak membuat mereka kecewa, kami hanya memenuhi obrolan sekadarnya, terutama bertanya tentang arah Sendang Sengon walaupun sebetulnya dari peta yang kami bawa dari Talun cukup jelas.
Usai obrolan-obrolan ringan tentang berbagai kondisi pedukuhan setempat, perjalanan kembali kami lanjutkan. Kesan yang selalu menempel pada benak kami adalah bahwa kami begitu nampak angkuh di tengah keramah-tamahan orang-orang pedukuhan tersebut. Tradisi kota yang kental dengan modernitas adalah tradisi curiga, su’udzan, dan selalu mendahulukan prasangka buruk pada setiap orang. Jangankan pada orang asing atau pendatang, pada teman akrab saja seringkali prasangka buruk itu tidak dapat dibuang. Tidak demikian dengan orang desa dengan tradisi kekerabatan yang sangat kuat, penghormatan terhadap tamu asing adalah segalanya bahkan melebihi penghormatan terhadap kepala kampung sendiri, atau kerabat mereka. Maka wajar jika sebagai ungkapan rasa hormat kepada tamu dari luar, mereka akan menyajikan menu makanan yang paling baik dan special, khas dan kadang mahal dalam ukuran mereka. Mereka rela memotong kambing atau ayam yang sebetulnya sebagai bagian penopang hidup mereka, memetik aneka buah-buahan, dan sejenisnya, bahkan konon di pedalaman papua ada suatu tradisi menyuguhkan istri-istri mereka guna menemani para tamu asing yang kebetulan menginap.
Sikap yang terlalu hormat inilah yang barangkali—lebih tepatnya dapat dipastikan—dijadikan peluang bagi orang asing, pendatang juga penjajah asing kala itu untuk mengeksploitasi penduduk kampung, merampas hasil panen, menggusur tanah, serta menjadikan petani pemilik lahan justeru menjadi buruh dan budak di tanahnya sendiri. Sebab penghormatan itu pula, dalam cerita-cerita masa kolonial dan mungkin berjalan sampai sekarang banyak diantara para petinggi desa, priyayi kampung dan pejabat daerah memberikan anak-anak gadisnya atau perawan-perawan desa yang memiliki paras rupawan untuk hadiah penyambutan para tamu asing tersebut. Mungkin selain rasa hormat itu, dengan memberikan anak gadisnya untuk dijadikan sebagai istri atau selir kepada para tamu asing, ada harapan dalam benak mereka agar kehidupan ekonomi perempuan-perempuan itu lebih baik, atau secara umum supaya kehidupan masyarakat pedesaan dapat mulai terangkat.
Aku kira sikap demikian lebih banyak tidak dapat dibenarkan, sebuah anggapan yang sepenuhnya salah dengan terlalu menganggap bahwa semua orang kota/pendatang lebih kaya, pintar dan melebihi semua kemampuan orang-orang desa. Akibat anggapan yang terlampau men-superior-kan kehidupan orang kota, orang-orang desa akhirnya berbondong-bondong melakukan migrasi dari desa ke kota. Fenomena urbanisasi inilah yang lalu menjadikan desa kian sepi, lengang dan tidak berpenduduk.
Melakukan perjalanan di desa memang merupakan kenikmatan tersendiri, mungkin demikian juga kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang desa sewaktu berjalan-jalan di kota. Jika seperti itu, yang menentukan bahwa sesuatu itu nikmat tidak nikmat, indah tidanya, sesuatu itu luar biasa, bukanlah obyek itu sendiri melainkan lebih pada suasana batin, kebiasaan dan tradisi yang dijalani manusia sehari-harinya. Nyatanya saat ditanya bagaimana pendapat mereka yang tinggal sepanjang lereng Sindoro tentang alam mereka, jawabannya biasa-biasa saja. Mungkin oleh sebab posisiku sebagai orang luar yang mengaguni kindahan alam, tradisi masyarakat, kehidupan petani dan berbagai hal yang terdapat di pedukuhan lereng Sindoro, aku hanya dapat berucap “Kalian harus bersyukur terlahir dengan limpahan alam yang begitu indah dan subur”.
Kadang aku berpikir, kiranya apa yang sebetulnya mereka cari dengan meninggalkan kampung halaman untuk benduyun-duyun datang ke kota. Apakah murni motif ekonomi ataukah ada sesuatu yang lain, semacam kepuasan batin, mencari pengalaman baru atau ingin mendapatkan apa. Sedang di kota-pun tak sedikit diantara mereka yang hanya jadi kuli, buruh bangunan, juga pedagang-pedagang kaki lima yang rawan penggusuran, dan kalaupun jadi pelayan toko, atau pembantu mereka banyak mengalami pelecehan seksual. Ku kira kesan kota yang serba mewah dan megah memang harus diimbangi dengan berbagai berita tentang kekejaman, dan kebiadabannya agar kampung-kampung nusantara tetap terjaga. Tapi itulah manusia, mungkin hanya dengan cara melancong menjadi perantau, menjadi gembel di kota, jadi PRT, kuli, buruh di tempat lain, mereka baru bisa memahami betapa Tuhan sebetulnya telah memberikan limpahan kenikmatan pada kampung halamannya masing-masing. Mungkin juga dengan memilih tinggal di daerah lain citra seseorang di kampung sendiri akan tetap terjaga, demikian ucap seorang teman yang lebih memilih tinggal di Gunungkidul dari pada di daerahnya sendiri di kawasan lereng gunung Sindoro.
Walaupun begitu, memang tidak semua kampung halaman memberikan segalanya, semisal di daerah padat penduduk dengan alam yang gersang seperti halnya yang banyak terdapat di daerah pesisir utara jawa. Susunan tanah kapur yang sebagian besar bertanah merah serta cuaca panas pantai menyebabkan daerah-daerah ini tak jarang mengalami kemarau sepanjang tahun, gersang dan kekurangan air. Bagi orang gunung, mungkin kehidupan orang pesisir selalu lebih enak dari mereka, hanya tinggal berangkat ke-laut tanpa terlebih dahulu harus menanam ikan, memberi makan, merawat dan sebagainya, para nelayan sudah dapat memetik hasilnya. Ya…paling hanya butuh perahu kecil dan jala. Hanya dengan berangkat pagi pulang sore, seperti orang-orang kerja kantoran, setiap hari para nelayan sudah dapat hasil tangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan para petani harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan hasil panenan. Itupun jika ada hasil, jika tidak dimakan wereng, hama dan penyakit lainnya, sebab jika tidak maka waktu menunggu berbulan-bulan hanya akan sia-sia belaka, alias: gagal panen. Jika demikian apa yang dapat dimakan, harus menunggu lagi sampai musim berikutnya.
Sebagai anak pesisir, meskipun bukan keluarga nelayan, aku merasa bertanggung jawab untuk meluruskan anggapan-anggapan kebesaran derajat nelayan dibanding petani. Orang nelayan dikatakan hidup nikmat, enak dengan limpahan ikan yang dapat ditangkap sehari-hari, lebih terjamin dengan kehidupan yang lebih baik, itu dulu. Dulu sekali. Sebelum jutaan kubik sampah manusia manumpuk berpuluh-puluh tahun dibuang kelaut, sebelum direlokasinya pantai menjadi taman rekreasi, pelabuhan dan pariwisata yang menyebabkan berbagai jenis terumbu karang mati tergusur, sebelum dijarahnya hutan-hutan bakau menjadi tambak. Sebelum maraknya pukat harimau yang dapat menghancurkan semua jenis benih ikan, sebelum mengalirnya limbah-limbah pabrik yang syarat dengan bahan kimia berbahaya, sebelum adanya praktik peledakan bom-bom dan nuklir untuk menangkap ikan atau sekadar lahan uji coba. Juga, sebelum naiknya harga solar dan bensin yang menjadi bahan bakar pokok bagi perahu-perahu nelayan.
Angin tak mampu lagi menjadi pendorong layar-layar perahu nelayan. Pemanasan suhu global selain menyebabkan naiknya permukaan air laut, yang lebih berbahaya adalah terjadinya percepatan laju angin yang semakin liar dan kencang. Perbedan cuaca yang terlalu tinggi akibat pemanasan tersebut, membuat angin justeru menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Pergantian musim yang tidak teratur dan berakibat pada hempasan gelombang air laut yang makin tinggi. Ketinggian gelombang ini pulalah yang pada akhirnya merusak pemukiman penduduk yang ada berderet di sepanjang pantai. Kampung pesisir berbeda dengan pedukuhan di lereng-lereng pegunungan, rumah-rumahnya berdiri acak, berdempetan, padat dan tidak tersusun rapi. Rata-rata rumah-rumah kampung nelayan hanya berjarak 10-20 meter dari laut, bahkan ada yang terletak tepat di atasnya.
Hempasan ombak yang dari tahun ke tahun terus naik dan semakin besar, akibat dari pemanasan global serta tidak teraturnya arah angin, menyebabkan terjadinya daratan-daratan sepanjang pantai mengalami abrasi yang diikuti dengan rusaknya rumah-rumah nelayan yang berdekatan dengan pantai. Selain itu, kenaikan air laut juga menyebabkan tengenangnya beberapa daerah dekat pantai, sebagaimana yang saat ini terjadi di Semarang, Pekalongan, Jakarta, Pati, Riau, Banyuwangi, dan di beberapa daerah di Jawa Tengah yang lain. Bahkan kenaikan air laut yang semakin tinggi tersebut menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil di banyak pulau di Indonesia. Seperti, sebagian kepulauan seribu, pulau-pulau lepas pantai Sulawesi, sebagian kepulauan Riau dan sebagainya. Jika keadaan ini terus-menerus terjadi tanpa ada upaya penanganan serius dari pemerintah, bagaimana mungkin kehidupan daerah pesisir akan tentram, nyaman dan enak. Belum lagi adanya ancaman angin puting beliung yang memungkinkan terjadinya tsunami dan gelombang pasang yang sewaktu-waktu dapat datang menghancurkan segalanya.
Beberapa surat kabar terakhir memberitakan banyaknya daerah-daerah yang mengalami kerusakan akibat angin puting beliung. Di Jogjakarta misalnya, setelah terjadi bencana alam gempa bumi yang menewaskan 6 ribu-an jiwa belum usai penanganannya sekalipun hampir setahun, dikabarkan ratusan rumah rusak berat akibat hantaman angin puting beliung. Hal yang sama juga terjadi di Lampung, Bojonegoro, Lamongan, Madiun, Ternate, Palembang, dan Jakarta.
Dapat dibayangkan saat nelayan tidak lagi sanggup melaut lantaran ancaman gelombang dan angin, serta mahalnya BBM yang tidak mungkin tertutup oleh sebab hasil tangkapan semakin sedikit, sementara itu daerah pesisir adalah daerah padasan, tandus dan kering yang pasti tidak dapat digantungkan hasil pertaniannya, ancaman terbesarnya adalah kelaparan. Kondisi itulah salah satu penyebab maraknya kelaparan akhir-akhir ini, tidak hanya di Yahukimo tapi juga di Indramayu, NTB, NTT, Sumatra, Jawa dan hampir di semua propinsi di Indonesia. Harga beras kian tinggi, uang nelayan tak cukup untuk membelinya. Ingin beralih ke jagung, saat ini petani tak lagi memiliki lahan untuk jagung. Sedangkan untuk beralih makan tiwul, nasi gaplek, ubi, dan hawuk-hawuk, perut anak-anak saat ini sudah tidak terbiasa, mereka akan mual, mencret, dan sakit-sakitan. Jika untuk mempertahankan hidup, sebagian besar petani beralih tanaman atau menjual lahannya, maka para nelayan agar tetap hidup mereka mulai beralih menjadi tukang becak, kuli pelabuhan, buruh gendong dan sejenisnya. Seperti halnya di Lamongan, hampir 40 % nelayan beralih pekerjaan menjadi tukang becak, sekalipun dengan pendapatan ala kadarnya “Ya…minimal biaya operasionalnya lebih murah mas…” demikian pendapatnya saat ditanya tentang profesinya yang baru.
Pada akhirnya hidup hanyalah—menurut istilah jawa—Wang sinawang, yakni selalu tampak enak dan nikmat jika dalam mpandangan orang lain. Petani melihat nelayan selalu lebih nyaman, demikian juga nelayan memandang petani labih tenang tidak perlu biaya untuk beli beras dan sebagainya. Tapi yang jelas kehidupan baik nelayan maupun petani sama saja, sama-sama melarat, sama-sama tidak mendapat perhatian, sama-sama terkucil, sama-sama terpinggirkan, padahal dari dulu kita semua tahu bahwa nusantara adalah negeri bahari sekaligus agraris, agraris sekaligus bahari; agraris-bahari, bahari-agraris; BAHGRARIS.
Sepanjang perjalanan menuju Sendang Sengon pernak-pernik pikiran itu terus-menerus bermunculan, kadang sempat terlontar keluar dan mendapat tanggapan dari teman-teman, namun lebih sering bergolak dalam batin sendiri. Dan secara subyektif, aku lebih dapat membenarkan orang-oang pesisir yang merantau mencari penghidupan keluar ketimbang orang-orang petani yang merantau, seperti halnya yang banyak dilakukan oleh penduduk lereng Sindoro. Sebab, bagaimanapun ketahanan pangan jauh lebih penting secara makro dari pada ikan hasil tangkapan nelayan. Orang bisa saja dalam hidupnya tidak makan ikan, tapi kalau tidak makan beras…. ???
Bangsa yang dulu disebut sebagai “Tanah Surga yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem kerto raharjo” kini menjadi bangsa yang selalu diliputi ketakutan, ancaman kelaparan, gizi buruk, kematian akibat biaya kesehatan yang tinggi, konflik etnis akibat akses pembangunan yang tidak merata, ketidak-nyamanan sosial, dan perasaan was-was sepanjang abad. Harga beras mahal, penyakit busung lapar dimana-mana, kesehatan tidak terjangkau, hutan ludes oleh keserakahan pengusaha industri, tanah longsor, banjir, dan negeri dengan ancaman angin yang selalu dapat datang kapan dan dimana saja. Akankah generasi bangsa ini musnah lantaran berbagai ancaman tersebut, sangat mungkin akan terjadi.
Sindoro tetap tegak menjulang di sisi kiri perjalanan kami. Setegak harapan kami akan datangnya hari esok yang lebih baik. Yang membela petani, yang mensejahterakan nelayan, yang mampu melahirkan anak bangsa menjadi pemimpin-pemimpin yang bervisi dan paham akan prioritas, juga yang nasionalisme-nya tidak sebatas sebagai dagangan politik dan ambisi untuk mengeruk kekayaan bangsa untuk kepentingan pribadi.
Namun tidak akan pernah datang hari esok yang tiba-tiba enak, nyaman, makmur, sejahtera, tanpa adanya usaha yang dimulai hari ini. Nasionalisme harus kembali digaungkan. Nasionalisme berarti memberikan segala-galanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, menjaga tanah-air dari rongrongan eksploitasi asing, dan mempergunakan sebesar-besar kekayaan negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Tanah adalah milik petani, maka merekalah yang lebih layak menikmati hasilnya. Bumi dan kekayaan alam adalah milik negara bukan milik pemodal, bukan kepunyaan investor, maka harus dikelolah dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Lagu-lagu nusantara tanpa ku sadari mengalun pelan meresap, mengalir dari kedamaian alam, gunung dan persawahan lereng-lereng Sindoro, gemericik air dan dalam setiap cangkul yang diayunkan petani, dalam setiap tetes keringat...
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya...
Disana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
.........
Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku
Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk indonesia raya
.......
Tanah airku indonesia
Negeri elok amat ku cinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang ku puja sepanjang masa....




MOOI INDIE
Sepanjang jalan memasuki Sengon bambu-bambu petung berderet tegak berayun seolah menyambut kedatangan gelora kami, bahwa harus segera terjadi perubahan di negeri ini. Lantunan lagu-lagu itu tercipta bukan sekadar untuk mengisi kekosongan seremonial upacara. Tidak juga untuk menina-bobokkan anak-anak yang hendak tidur, apalagi sebatas sebagai pengisi acara-acara tujuh-belasan. Namun ia tercipta dari perjuangan panjang para pejuang bangsa, pendamba kemakmuran rakyat, serta sebuah cita-cita besar keadilan dan kesejahteraan bangsa. Yang rela gugur remaja demi tegaknya kejayaan nusantara.
Keberadaan petung-petung itu telah beratus-ratus tahun disana. Ia juga menjadi saksi sejarah perjuangan rakyat melawan kekuasaan kolonial yang merampas setiap hasil panen dan kekayaan bangsa. Dari deretan bambu-bambu petung itu juga penduduk setempat berlindung dari binatang buas, hempasan angin gunung yang sesekali berarak kuat menurun menghempaskan rumah-rumah penduduk, juga sebagai tempat berlindung dari teriknya panas matahari. Petung-petung yang seolah menjadi pagar hidup yang melindungi kampung setempat, oleh tetua-tetua kampung lalu diabadikan dengan menamai desa itu sebagai desa Petungsari.
“Mooi Indie” Demikianlah orang-orang Eropah dulu menyebut kepulauan nusantara ini yang di dalamnya penuh rasa eksotisme, dipenuhi hutan-hutan lebat, irama kecipak-kecipak air, nyanyian satwa-satwa liar dan deretan sawah bertingkat-tingkat menakjubkan.
Citra eksotisme itu telah membangun impian orang Eropah untuk berdatangan ke nusantara. Pada awalnya mereka berdagang barang-barang antik yang didatangkan dari sana dan membeli rempah-rempah yang dikepulkan oleh para tengkulak-tengkulak Arab dan China yang berada di sepanjang pelabuhan. Namun dengan hanya membeli dari tengkulak-tengkulak China kebutuhan terhadap rempah-rempah di Eropah tidak tercukupi, maka pelayar-pelayar Eropah itu mulai membuat kantor pengepulan (kongsi dagang) sendiri yang secara langsung membeli dari para petani yang berdatangan ke pelabuhan untuk menjual hasil bumi mereka. Harga yang pada awalnya lebih tinggi itu menyebabkan petani-petani nusantara ini lebih suka menjual ke pengepulan Eropah dari pada ke pengepul China maupun Arab yang terkenal pelit dan tidak ramah.
Kondisi yang hanya menunggu kedatangan petani ke pelabuhan bagi pengepul Eropah belumlah cukup untuk memenuhi permintaan pasaran Eropah yang semakin hari semakin tertarik dengan hasil bumi nusantara. Maka selanjutnya para amtenar-amtenar itu mendatangi langsung kepelosok-pelosok yang menjadi sentra usaha pertanian tradisional kala itu. Mereka tidak lagi menjual ke pelabuhan sebab orang-orang Eropah sendiri yang datang untuk membeli langsung dari lahannya.
Sebagai bangsa yang sedari awal kedatangannya di nusantara karena tergiur oleh aroma rempah-rempah dan kemolekan tanahnya, situasi makin dekatnya para pegawai kantor pengepulan dengan para petani itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya melalui eksplorasi tanah dengan berbagai jenis tanaman baru yang memungkinkan untuk ditanam secara masal. Sehingga lambat laun yang semula hanya membeli hasil bumi langsung kepetani berubah menjadi memberikan penawaran jenis tanaman yang lebih cocok untuk menopang kebutuhan masyarakat Eropah, semisal teh, kopi tembakau dan lain-lain.
Sejak itu petani tidak lagi memiliki kebebasan untuk bertanam sesuai dengan keinginannya, sebab berbagai tanaman yang mereka taman diluar keinginan pendatang-pendatang Eropah yang menjadi konsumen terbesar, hasil bumi mereka tidak akan laku di pasaran. Tanah yang semula hanya ditanami jagung dan kacang-kacangan berganti tanaman teh, kopi dan selainnya. Nampaklah dalam fenomena ini petani hanya menjadi pekerja ditanahnya sendiri. Semua ditentukan oleh pasar, hingga pemilik tanahpun tidak lagi memiliki kuasa menentukan harga tanamannya sendiri.
Setelah kongsi dagang Eropah semakin berkembang dari yang pada awalnya hanya berlokasi di pelabuhan, lalu meluas ke pinggira-pinggiran kota dan akhirnya sampai di kampung-kampung pedalaman, maka kebutuhan akan keamanan atas aset-aset itu tidak dapat tidak harus diadakan. Untuk itu didatangkanlah pasukan pengamanan dengan persenjataan untuk menjaga keamanan berbagai aset tersebut dari negeri asalnya. Dengan pasukan pengaman/militer, aset-aset dagang akan terjaga,disamping juga agar terjadi proses pembelian yang lebih cepat dan murah dengan “menakut-nakuti” petani yang akan menjual hasil panennya.
Cerita rakyat Betawi “Si Pitung” memberikan gambaran yang jelas bagaimana kompeni-kompeni penjajah itu melakukan pemaksaan kepada petani yang tidak mau menjual hasil tanahnya. Secara pelan-pelan mereka juga melakukan perampasan lahan dan hasil panen tanpa ada ganti rugi dan sistem jual beli sebagaimana yang terjadi pada awal kedatangan mereka. Melihat kondisi yang sangat menguntungkan bagi penumpukan modal, banyak juga tuan-tuan tanah lokal yang memanfaatkan jasa kompeni-kompeni itu untuk menjaga aset dan memaksakan jual beli dengan pemilik-pemilik tanah kecil.
Maka dengan semakin diuntungkannya para pendatang Eropah itu dengan keberadaan pasukan pengaman, baik melalui servis keamanan yang mereka berikan atau dengan sewa jasa para pengaman itu oleh pengusaha-pengusaha lokal, semakin hari bertambah pula kedatangan pasukan-pasukan itu. Demikian banyaknya jumlah mereka yang berdatangan, kebutuhan untuk mendirikan kamp-kamp khusus bagi mereka akhirnya juga harus diadakan.
Sejak itu mulailah berdiri markas-markas pasukan di daerah-daerah yang menjadi basis perdagangan orang-orang Eropah. Dengan keberadaan markas-markas itu tentu saja membawa implikasi yang sangat besar bagi para pedagang Eropah dengan semakin beraninya mereka melakukan kontrak-kontrak dagang dan perampasan lahan serta semakin memperluas daya jangkauan mereka ke pelosok-pelosok pedalaman nusantara.
Kerjasama yang sangat kuat antara pedagang dan pasukan militer serta didukung adanya permintaan yang besar masyarakat Eropah atas hasil pertanian itulah yang menjadi faktor utama dimulainya sistem tanam paksa (culturstelsel) di Indonesia. Yakni, tindakan pemaksaan untuk menanam jenis tanaman tertentu dibawah tekanan senjata dengan tidak mendapatkan bagian hasil apapun bagi petani. Dengan mulainya tanam paksa ini, mulai pula perjalanan kolonialisasi bangsa-bangsa Eropah atas bangsa yang subur-makmur nusantara, juga bangsa-bangsa di Asia yang lain.
Setelah tanam paksa berhasil dilaksanakan ada kendala lain yang tetap menghambat hasil tanam paksa untuk segera dapat didistribusikan keluar, yakni pengangkutan. Kerbau, kuda dan sapi yang selama ini digunakan sebagai alat transportasi terlalu lambat untuk dapat mengangkut semua hasil panenan yang kian menumpuk di gudang. Keterlambatan inipun merupakan kerugian tersendiri, sebab barang-barang itu dapat lapuk jika tidak segera dijual kepasaran Eropah. Maka mulailah inisiatif untuk membangun jalan sebagai sarana transportasi yang dapat menjangkau sampai kepedalaman-pedalaman tempat berlangsungnya tanam paksa.
Pengalaman yang menguntungkan dan mudah dalam pelaksanaan tanam paksa, menjadi pemicu juga untuk mensegerakan pembangunan jalan secara cepat disamping mengurangi biaya sebesar-besarnya. Tak ada cara lain untuk dapat melaksanakan dengan cepat dan bebas biaya kecuali harus diselenggarakan kerja paksa pembangunan jalan. Kerja paksa pun dilakukan juga, dan sebagaimana taman paksa nyawa selalu menjadi taruhan jika tidak menuruti perintah kompeni. Kalaupun mengikuti perintah nyawa juga harus dikorbankan. Bertahun-tahun kerja paksa, tanpa gaji tanpa suplai makan, dapat dibayangkan berapa jumlah korban yang berjatuhan setiap hari sepanjang pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Menurut cerita orang-orang tua, korban-korban yang bergelimpangan sebab kelaparan dan kehabisan tenaga, begitu saja ditanam di sepanjang jalan. Bahkan ada yang dibuang sembarangan, yang keesokan harinya tinggal bangkai yang terkoyak menjadi rebutan anjing-anjing liar. Menjajah jangan setengah-setengah, sekali menjajah seluruhnya harus dihisap, mungkin demikian isi otak kolonialis itu.
Tiga setengah abad tidaklah waktu yang sebentar. Tak dapat lagi dibayangkan berapa kerugian yang diakibatkan oleh eksploitasi penjajahan itu. Apalagi semenjak VOC tahun 1511 mulai manguatkan sistem dagangnya yang bersentral di nusantara. Setiap laki-laki waktu itu yang terlihat sudah mulai tumbuh kuat, maka baginya dikenai hukum kerja paksa. Sedangkan bagi petani yang memiliki lahan dapat memilih menyerahkan hasil panennya, membayar upeti, atau menjadi pekerja tanam paksa. Sementara yang tidak memiliki tanah dan tidak sanggup membayar upeti, tiada lain kecuali membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan kompeni. Menjadi pekerja tanpa gaji sepenjang-umur hidupnya.
Kerugian yang lebih besar akibat kolonialisme itu adalah pupusnya harapan nusantara menjadi bangsa yang besar oleh sebab sistem penjajahan selamanya tidak menghendaki bangsa jajahannya menjadi cerdas dan tahu akan keadaan dirinya. Tenaganya dikuras ludas sampai habis, tanpa diberi kesempatan untuk mendapatkan haknya sebagai manusia, terlebih sebagai pekerja. Nusantara benar-benar harus ditumpulkan otaknya. Sebab otak yang bebal akan lebih mudah bagi penjajah untuk mengatur dan menentukan jalan pikirannya. Tunas-tunas kecerdasan harus ditumpas sebelum mekar berkembang dan besar. Sejarah penjajahan adalah sejarah penderitaan.
Sayangnya kesadaran akan kondisi penderitaan rakyat pada masa penjajahan tidak pernah muncul dalam diri penguasa bangsa ini. Kondisi itu tidak menjadi pelajaran berharga untuk dapat mengatur bangsa ini lebih baik dan maju demi mencapai kesejahteraan rakyat. Malahan penguasa-penguasa bangsa yang baru, yang notabene terlahir dari jalan panjang penderitaan rakyat terdahulu, justeru menjadi keberlanjutan penjajah atas bangsanya sendiri. Rakyat terus tertindas, alam terus saja dieksploitasi tanpa kita tahu kekayaan yang melimpah ini dialirkan kemana. Sebab pertumbuhan ekonomi yang dalam laporan keuangan negara terus mengalami kenaikan, selalu saja sejalan dengan tingkat kemiskinan, kelaparan dan pengangguran yang juga ikut meningkat.
Negara yang katanya mulai serius memperhatikan sektor pertanian, pada saat yang bersamaan naik pula harga beras dan langkanya minyak goreng yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Bukankah tidakan mensengsarakan rakyat dengan mencabut subsidi BBM, membiarkan terjadinya kelaparan, tidak memberi pekerjaan yang layak, penggusuran atas tanah milik rakyat, eksploitasi alam yang tidak mengindahkan kehidupan masyarakat setempat, membatasi akses pendidikan dan kesehatan yang menjadi hak seluruh warga negara, intimidasi buruh dengan pemberlakuan undang-undang yang sepenuhnya pro-modal, adalah tindakan penjajahan dan pelanggaran hak asasi manusia?
Lalu apa makna pembukaan UUD ‘45 yang menyatakan, bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan? Jika demikian saatnya menghapuskan penjajahan diatas nusantara ini dengan anti NKRI, karena hanya akan menjadi pundi emas bagi konglomerat-birokrasi Jakarta. Memberikan sepenuhnya kebijakan rakyat daerah untuk menentukan nasib daerahnya sendiri. Pemberlakuan memorandum disemua aspek pengambilan kebijakan, serta menolak intervensi modal asing yang masuk ke Indonesia.
Dalam catatan perjalananku kali ini pun, eksploitasi juga terjadi atas penduduk yang tinggal di lereng gunung Sindoro. Orang-orang kampung-pelosok selama ini memang terlalu ramah menyambut pendatang-pendatang asing. Saking hormatnya mereka bahkan menghilangkan semua pretensi negatif yang ada dalam benak pendatang-pendatang itu. Berdasarkan cerita mereka pola penguasaan dan penjajahan yang terjadi terutama atas diri para petani itu sampai saat ini juga masih berjalan, meskipun tidak lagi jelas apakah mereka juga orang-orang Barat-Eropah yang dulu, ataukah telah berganti pemodal-pemodal pribumi yang menjadi antek investasi asing. Atau juga mereka adalah sanak kerabat mereka sendiri yang meniru gaya pemerasan Eropah? Apapun bentuknya kondisi itu tetap mensengsarakan rakyat.
Tidak dapat ditolak, bahwa konsumen terbesar tembakau—tanaman yang menjadi primadona lereng Sindoro—adalah pabrik-pabrik rokok. Maka setiap musim panen tembakau yang berkisar pada bulan Juli-Agustus pengusaha-pengusaha pabrik itu akan membeli tembakau-tembakau hasil panenan para petani. Pada mulanya masih terjadi negosiasi tawar-menawar harga dengan posisi petani lebih kuat sebab mereka adalah pemilik barang, meskipun sebagaimana biasa kekuatan petani juga tidak akan mengambil keuntungan yang besar. Bagi mereka asal semua modal tertutupi sudah merupakan kecukupan. Namun—hukum pasar tetaplah berlaku—oleh karena petani tembakau itu panen secara bersamaan, pengusaha-pengusaha yang sudah paham betul akan politik dagang itu memanfaatkan momen tersebut untuk memilih jenis tembakau yang lebih sesuai dengan cita rasa rokok mereka masing-masing, yang sebelumnya mereka juga telah mengontrak lahan untuk tanaman jenis tembakau tertentu.
Saat itulah mulai berbalik keadaan dimana muncul tawar-menawar harga dengan posisi pembeli yang lebih kuat. Ada tembakau yang tidak laku dan ada yang laku. Tembakau-tembakau yang laku tentu saja adalah jenis tembakau yang selama ini dijadikan bahan baku produksi dan dikembangkan oleh pabrik-pabrik rokok. Sedangkan tembakau yang tidak laku hanya akan menjadi sampah yang terjual eceran dipasar-pasar tradisional. Agar petani mendapatkan hasil dari panenan tembakau—juga sudah pasti tidak mau rugi—mereka lantas beramai-ramai beralih ke jenis tembakau yang diinginkan oleh pabrik-pabrik rokok.
Dengan demikian, maka berlaku juga hukum pasar. Stok tembakau sejenis melebihi kapasitas produksi, hingga perusahaan pun—secara politik harga—tidak berani mengambil resiko membeli tembakau itu dengan harga tinggi. Sebab penimbunan yang terlalu lama akan menjadikan cira rasa tembakau mulai pudar. Sejak itu berlaku harga yang sepenuhnya ditentukan oleh pengusaha rokok. Bahkan dengan mekanisme harga yang menurut petani sangat rumit. Misalnya pada musin panen bulan Juli akan berlaku harga mingguan, sementara pertengahan Agustus harga dapat berubah tiga hari atau dua hari sekali. Yang dimaksud harga mingguan adalah selama minggu tertentu harga akan tetap stabil, namun jika melebihi minggu itu harga akan merosot drastis. Kalau harga mingguan mencapai 85 ribu/kilo untuk tembakau kering, maka diluar minggu itu harga dapat berubah menjadi 30 ribu atau 21 ribu untuk jenis tembakau yang sama. Demikian juga harga yang berlaku harian. Siapa yang memiliki otoritas menentukan harga, sudah pasti adalah pemilik modal. Sayangnya petani tidak dapat memaksa tembakau untuk dapat dipanen sesuai keinginan mereka. Petani boleh jadi pemilik tanah, tapi otoritas penentu harga dan jenis tembakau yang harus ditanam adalah pengusaha pemilik perusahan rokok. Pola-pola semacam ini berjalan sampai sekarang, bahkan lebih parah. Anehnya—mungkin malah tidak aneh—pemerintah yang seharusnya melindungi petani justeru berpihak pada pengusaha-pengusaha rokok tersebut.












JALAN PULANG
Gadis-gadis kampung bersama ibu dan temannya mulai berdatangan ke Sendang Sengon. Gejolak batin yang bergeyalut dalam pikiranku sendiri sejak tadi, sejenak aku hentikan untuk memberikan perhatian pada mereka. Dengan senyumnya yang khas mereka menyapa makhluk-makhluk asing yang sejak tadi nangkring diemperan Sendang. Akupun hanya mengangguk mengiakan sapaanya.
Ada diantara mereka yang sengaja datang untuk mandi di pancuran yang dialirkan melalui pipa-pipa kecil. Ada yang mencuci, ada juga yang sekadar mencari kesejukan dengan hanya bermain kecipak air Sendang. Juga ibu-ibu petani berdatangan mencuci sayuran yang barusan mereka petik dari sawah. Selain itu sambil lalu mereka juga membersihkan cangkul, arit dan sabit-sabit mereka. Sementara sebagian anak-anak kecil bermain-main air, ibu mereka mencuci beras untuk dimasak sore hari. Mandi. Berkeramas membebaskan lendut-lendut lumpur usai manyiangi sayuran. Ada yang hanya duduk malas, sedang ada juga anak-anak kecil yang belajar renang dengan saudara dan teman-temannya.
Pada pagi dan sore hari aktivitas warga di Sendang ramai sekali. Sebagian besar penduduk sekitar Sendang, mandi dan mencuci disana. Panoramanya yang sangat memesona serta aliran air yang mengalir gemericik tak henti sepanjang tahun, membuat orang-orang selalu ingin berlama-lama disana. Tempat yang nyaman, tenang, elok sungguh bisa menghilangkan kelelahan dan kepenatan setelah seharian bekerja di sawah.
Hal yang sama juga kami rasakan. Airnya yang begitu sejuk membuat kami betah seharian disana. Tak peduli badan menggigil, panas kelamaan terguyur air, pakaian yang kami kenakan juga tak kami pedulikan untuk merasakan nikmatnya guyuran air yang mengalir dari Sendang. Betul memang, pada saat rambut kepala mulai disiram airnya kelelahan dan berbagai gejolak batin yang ada sepanjang perjalanan seolah ikut luntur bersama aliran kesejukan air itu melewati sekujur tubuh. Ia meresap jauh menjelajah sangat dalam hingga relung-relung batin yang kosong.
Aku diam memesona, membiarkan air-air itu merambat pelan dari rambut sampai ujung kakiku. Sayangnya aku tak biasa mandi hanya dengan memakai celana dalam atau bahkan telanjang ditempat umum seperti itu, sebagaimana kebiasaan orang-orang sana saat mandi. Aku jelas tak biasa terlebih ada teman-teman perempuan yang juga ikut rombongan perjalanan kami. Mandi dengan pakaian lengkap yang kukenakan agak sedikit mengurangi kesegaran airnya. Namun aku dapat mengira-ngira betapa kesegaran itu akan sempurna jika dinikmati dengan mandi telanjang....
Waktu juga yang akhirnya harus membatasi semua aktivitas manusia. Para petani berangkat ke sawa pagi hari, dan setiap sore saat matari mulai membias cakrawala merekapun pulang sebab hari beranjak petang. Senja hari gunung telah berselimut kabut juga sawah-sawah mereka menampak hamparan kabut putih yang terhampar sepanjang lereng-lereng pegunungan, ngarai-ngarai juga menyelimuti kesejukan Sengon.
Nyanyian air menjadi kian eksotik. Melodi krok-krok-krok kodok bangkong, cericit tikus-tikus sawah, dan kluk-kluk-klung burung-burung senja turut menyemarakkan suasana petang nan damai dan makin dingin.
Petang menjadi pemisah sendiri antara siang dan malam. Sebagai bagian dari penggalan waktu, petang telah menjadi petanda manusia untuk mengakhiri semua aktifitas siang hari dan menggantinya dengan aktifitas yang baru pada malam harinya.
Petani-petani satu-persatu meninggalkan sawah. Kabut-kabut mulai turun menjadikan suasana kian gelap membawa udara dingin pegunungan. Jika tetap bertahan di sawah, tubuh akan jadi beku, kulit memutih dan anak-anak akan berlarian sambil teriak: “Ada pocong....”
Berangsur-angsur sawah menjadi sepi. Tinggal lambaian daun-daun cabai, terong dan sayuran yang meliuk-lirih mengikuti irama terpaan angin pegunungan.
Sore itu juga kami melanjutkan perjalanan usai pulang dari sendang sengon menuju desa Macanan yang terletak diarah barat daya dari Talun. Dua hari singgah di Talun memperoleh kenangan yang begitu mempesona terutama tantang penduduk dan alamnya. Keinginan untuk menikmati pedukuhan yang lebih atas mendekati perut gunung Sindoro, menjadikan kami lebih bersemangat untuk melanjutkan perjalanan ke desa Macanan.
Desa Macanan merupakan bagian dari desa-desa yang juga terletak berderet di lereng-lereng Sindoro. Dengan jalanan yang khas pedesaan lereng gunung, jalanan yang pada umumnya berada ditengah kampung tersusun dari bebatuan yang memanjang rapi berderet dari atas sampai ke bawah. Setelah hampir mendekati Parakan, barulah jalanan batu dilanjutkan dengan jalanan beraspal.
Beberapa jalan aspal juga menjadi penghubung antara jalanan berbatu, namun letaknya hanya pada beberapa ruas jalan yang agak datar. Sebab saat hujan aspal menjadi licin karena tidak dapat menyerap air.
Sore itu, hujan gunung mengguyur sepanjang perjalanan. Pakaian yang sempat kering setelah dipakai mandi di pancuran Sengon kini basah kembali oleh guyuran hujan. Hanya pakaian itulah yang kami kenakan, sebab perjalanan yang tidak pernah kami rencanakan sebelumnya berarti bekal yang kami bawa juga seadanya. Hanya beberapa pakaian yang kami bawa, itupun sudah tentu kotor karena hampir empat hari kami kenakan pada waktu mengikuti acara di Wonosobo. Dengan pakaian yang tingal di badanlah, kami melanjutkan kembali perjalanan.
Menjelang maghrib sampialah kami dijalan turunan menuju tumah sabahat yang akan menjadi tujuan kami di Macanan. Di sinilah pertama kali aku menginjakkan kaki di lereng Sindoro dua tahun yang lalu, yang juga berarti menambatkan hatiku pada keindahan alam Sindoro sebagai karya besar Yang Maha Agung. Setiap menginjakkan kaki di lereng Sindoro, aku hanya berdiri terpekur betapa diri hanyalah debu diantara kemegahan Sindoro-Sumbing.
Namun ada sesuatu yang lucu saat kami mulai menuruni jalanan itu. Dari jauh antara tiaupan angin pegununga dan sisa-sisa gerimis air hujan, samar-samar terdengar suara ”Ai...ai...ai...ai” yang sepertinya terdengar jauh dari amplifier yang dibunyikan. Makin dekat suara itu tiba-tiba berubah menjadi ”Aci-aci-aci-aci-aci” tanpa sela dan semakin cepat. Lalu terdengar menjadi ”Asu-asu-asu-asu-asu”
Kami saling pandang. Kiranya apa maksud suara itu. Tapi makin didengar, suara itu nampak semakin mendekat. Pastilah suara itu keluar dari mobil yang menyampaikan suatu informasi sebagaimana kebanyakan woro-woro di kampung yang disampaikan lewat pengeras suara sambil jalan dengan mobil.
Kamipun lantas mengadakan tebak-tebakan apa maksud suara itu. Seorang teman menyebutnya ”Api-api-api” yang menurutnya adalah orang jualan api. Tapi, adakah jualan api saja harus menggunakan mobil dengan pengeras suara. Teman satunya menebak bahwa suara itu pastilah ”Aci-aci-aci” yang berarti Aku Cinta Indonesia, sebuah kampanye membaca yang dilakukan oleh perpustakaan berjalan seperti yang lagi marak di kampung-kampung akhir-akhir ini. Agaknya tebakan yang ini mendekati kebenaran. Bukankah saat ini memang sedang digalakkan program perpustakaan keliling yang dicanangkan pemerintah untuk memasyarakatkan gemar membaca. Tapi, aku koq mendengarnya lain. Bukan ”Aci” atau ”Api” tapi ”Asu-asu-asu-asu.”
Makin dekat suara yang dibawa mobil itu, makin cepat juga langkah kami mendekat untuk mengetahui siapa yang paling benar tebakannya. Kami menjadi semakin penasaran tatkala banyak orang berdatangan saat mobil itu berhenti. Dari jauh kerumunan itu semakin besar. Koq, di depan kaca mobil ada tulisan harga 2000/kg.... Subhanallah...setelah kami menerobos kerumunan orang-orang, ternyata mobil dengan pengeras suara itu sedang menjual rambutan jenis acih dengan harga 2000/kg. Aneh-aneh saja orang gunung ini...jual rambutan koq pakai pengeras suara, kayak jual jamu saja. Tebakan kami tidakada yang benar. Tidak ”Api”, bukan ”Aci”, tidak pula ”Asu”, tapi ”Acih” salah satu jenis rambutan yang banyak digemari karena buah dagingnya tidak melekat di biji. Orang biasa menamakannya ”rambutan Aceh”. Mungkin agar lebih mudah mengumumkannya lewat pengeras suara orang-orang gunung itu lebih suka menyebutnya ”Acih-acih-acih.”
***
Malam tak kunjung reda dari guyuran hujan. Titik air itu seolah turut meramaikan nyanyian alam lereng Sindoro. Badan yang lelah dan kuyup oleh guyuran hujan sore tadi makin teras gigil ditengah cuaca Sindoro malam ini. Kabut mengembang turun sampai pintu rumah memenuhi kamar mandi belakang yang tidak bertembok.
Aku tak kuasa melangkahkan kaki kemanapun, hanya menelungkupkan diri dalam kibaran selimut. Kegigilan ini terus menggelayut sampai urat-urat pensendian kakiku. Terasa ngilu setiap kali kaki menginjak lantai. Berkali-kali aku harus keluar-masuk kamar mandi untuk menetralisir suhu tubuh. Setiap tubuh manusia punya pertahanan sendiri untuk mengatur suhu tubuhnya. Apabila kedinginan dengan sendirinya rasa ingin kencing akan muncul terus-menerus. Demikian apabila terasa panas. Pori-pori dengan sendirinya akan bereaksi mengeluarkan keringat.
Tetapi, membiarkan tubuh bereaksi sendiri melawan dingin tidaklah cukup kuat untuk menahannya, maka akupun membantunya mempercepat netralisir suhu tubuh agar tidak beku kedinginan dengan membungkus diri dalam gulungan selimut.
Anehnya, menurut penduduk setempat, jika hujan turun cuaca akan terasa lebih hangat. Bahkan ada yang merasa, bahwa malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Bagi mereka hujan memberikan sedikit kehangatan. Cuaca paling dingin biasanya terjadi pada saat musim panas,yakni antara bulan April sampai September yang bersamaan dengan musim tanam dan panen tembakau.
Antara sadar kudengar pembicaraan disekitarku. Kehangatan yang mulai memancar dalam gulungan selimut itu menjadikan katup mataku kian redup, hilang dan menyerah terkapar lemas dalam pembaringan...
Halimun-halimun berselaput putih hilang-timbul dalam tidur malam yang panjang. Tak ada sesal. Tak pula kesal. Karena tidur justeru menghilangkan keduanya. Makanlah selagi lapar. Tidurlah selagi ngantuk. Hidup yang demikian akan memberikan makna yang lebih mendalam dalam setiap menjalani sisi perjalanan hidup ini.
Malam. Gelap. Pekat. Kabut. Hujan. Gunung. Lembah. Sawah. Kampung. Jalan batu. Lereng. Hutan bambu. Jagung. Sayur. Kokok ayam. Pagi...
Entah sisa hujan,entah embun. Titik-titik air itu masih menetes pagi ini. Aku bangun agak telat, jam 5 pagi. Luar biasa nikmat tidur semalam. Tidur yang nikmat akan membuka hari menjadi indah. Bebas, seolah tanpa beban apapun. Telah cukup lama aku tidak dapat menikmati tidur dengan begitu puas. Empat tahun terakhir ini sejak tinggal di Jogja, paling cepat aku hanya dapat tidur antara jam 12 malam. Dan dapat dipastikan bangun selalu terlambat. Tapi kali ini, mungkin oleh sebab badan yang terlalu lelah akibat jalan seharian, tubuh ini terasa hilang terlempar dalam ketidaksadaran penuh saat tidur. Tanpa mimpi...
Hal yang paling indah pagi hari adalah menikmati kecerahan gunung yang hijau kebiruan indah tak berkabut usai hujan. Sebagai biasa suasana alam setelah hujan akan nampak sejuk cerah. Gumpulan awan-awan hilang mencair menjadi hujan. Awan yang semula pekat mendung, telah diperas menjadi putih kekapasan. Udara gunung yang segar akan membuat siapapun betah berlama-lama larut terpukau dalam panorama kesejukan pagi sembari mengucap kekaguman tak henti ”Betapa indahnya semesta. Betapa elok alam yang sejak lama hanya dijajah manusia.” Tak heran jika banyak orang memiliki rasa kerinduan tersendiri pada fajar pagi. Ingin meresapi, menikmati dan larut dalam buaian kesejukannya.
Pagi menjadi waktu yang sangat mahal bagi sebagian orang. Terutama mereka yang selalu sibuk pada malam harinya. Mereka yang mengidap insomnia, juga mereka yang menjadikan malam sebagai aktifitas hariannya. Demikian halnya dengan kawan-kawan aktivis yang selalu larut dalam perdebatan, dan diskusi berbagai hal, jarang diantara mereka yang dapat merasakan kenikmatan pagi. Sebab lebih banyak dari mereka yang baru memulai aktivitas pada jam 12 malam. Atau paling cepat antara jam 10-11 malam. Tak jarang aktifitas itu baru kelar pada jam 4 menjelang subuh.
Bagi yang masih kuat akan melanjutkan dengan shalat subuh, kebanyakan melewatkannya dengan sengaja atau tidak. Subuh adalah waktu-waktu yang nyaman untuk beranjak tidur. Mereka baru akan bangun pada jam 10 atau bahkan kadang sampai jam 12 siang.
Semenjak menginjakkan Jogja tahun 2001, terlebih 4 tahun akhir-akhir ini, kehidupan itu seolah telah menjadi bagian dalam hidupku sendiri. Bahkan dalam hari-hari tiada aktifitas-pun kebiasaan tidur tengah malam itu tidak dihindari. Pernah sekali waktu aku coba memulai membaringkan tubuh pada jam 10 malam, tentu dengan harapan agar dapat bangun lebih awal. Akan tetapi karena kebiasaan tidur diatas jam 12 malam, mata tetap tidak mau kompromi untuk tidur lebih awal. Pikiran jadi melayang kemana-mana. Sampai kepada berbagai hal yang sebetulnya jarang terpikirkan. Beruntung jika yang bermunculan hanya hal-hal yang baik, kreatif dan unik. Yang bermunculan justeru hal-hal jorok, porno dan aduh...macam-macam-lah. Akupun akhirnya bergegas bangun mencari kesibukan hanya untuk sekadar menunggu jam 12 malam. Kadang bosan juga hidup ketidak-mampuan mengontrol diri sendiri seperti ini. Itulah kebiasaan. Kebiasaan memang pembangun budaya tersendiri dalam setiap hidup manusia.
Aku perhatikan,orang yang disebut pintar di masyarakat sebetulnya juga bukan orang-orang yang secara IQ cerdas,tapi lebih karena kebiasaan-kebiasaan yang dia jalani. Bayangkan jika tiap hari mengajar matematika, dengan materi yang itu-itu saja dari kelas-A sampai kelas-G, setiap hari...bukankah tidak aneh jika seorang guru atau anak didik bisa teori ini-teori itu. Hapal ratusan rumus dan sebagainya. Ya..semua bermula dari kebiasaan itu.
Bahkan secara mendasar kebenaran juga dapat berarti kebiasaan-kebiasaan itu sendiri. Orang kadang tidak sadar, bahwa korupsi adalah dosa besar bukan karena dia tidak bermoral, tapi karena kebiasaan yang mengajarkan orang menjadi korup-lah yang membuat sesuatu yang pada dasarnya salah itu menjadi terbiasa dan benar dengan sendirinya. Sebab jika tidak demikian, dia malah menjadi aneh karena dianggap keluar dari kebiasaan.
Karena kebiasaan pula, aku tak lagi mampu menikmati pagi. Menyambut pagi saja terasa jauh masa-masa itu kan ku tempuh. Pagi menjadi begitu asing, seolah bukan bagian dari penggalan siang dan malam. Maka sekali waktu jika kebetulan aku menemukan pagi, kebahagiaan abadi seolah terasa tak henti. Aku berlari membuncahkan rasa takjub dan penuh sanjung betapa masih ada bagian dari hari yang begitu indah.
Merenungi kerinduanku pada pagi aku jadi ingin sekali menorehkannya dalam sebuah puisi. kuberi judul puisi itu dengan; ”Rindu Pagi”
Pernahkah kau temukan pagi
Dalam amban fajar kesejukan abadi
Bias merahnya menyelorot
Tipis diantara halimun-halimun kabut

Pernahkah kau temukan pagi
Dalam remang subuh menanti mentari
Ada embun bening segar
Pembasuh nurani

Pernahkah kau temukan pagi
Dalam diri siap menata hari

Hariku malam
Paut kalut dalam gemelap ku renggut
Mencibir diri kapan pagi berbagi
Pagi terlalu mahal bagiku

Aku rindu pagi
Pada belaian kesejukan anginnya

Tidak ada komentar: